Mohon tunggu...
Shifana Maulidya
Shifana Maulidya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis untuk lebih bahagia

Social Worker With Disability

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membela Kemanusiaan Tanpa Rasa Kemanusiaan

13 Mei 2020   12:04 Diperbarui: 13 Mei 2020   12:05 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bullying (sumber: Viva.co.id)

Seluruh lapisan masyarakat sejak beberapa hari yang lalu sedang hobi- hobinya membicarakan kasus prank 'Sembako Sampah' yang dilakukan oleh salah satu youtuber atas nama FP.

Banyak orang menghujat perbuatannya terhadap para transpuan demi sebuah konten sosial media. Memang iya, diskriminasi, ujaran kebencian, dan penghinaan terhadap transpuan jelas digaungkan oleh FP melalui konten video di channel youtubenya. Tapi sadarkah, masih banyak sekali orang di negeri kita yang melakukan hal sama terhadap para transpuan dan kelompok minoritas lainnya?

Bedanya, FP mengunggahnya di sosial media, sementara yang lain tidak. Sama- sama menghujat, sama- sama melecehkan, tapi kebetulan saja yang lain memilih cara yang 'aman' sementara FP yang kebagian kena batunya. FP yang ngeprank hal sensitif begini di saat Indonesia sedang keos menghadapi kemerosotan ekonomi akibat Covid-19, sempurna untuk menjebloskan dia pada penderitaan. Diproses secara hukum sudah jelas, sanksi sosial apalagi, ditambah dengan perundungan yang dialaminya dalam tahanan, bahkan juga hujatan terhadap keluarganya, adalah paket lengkap membalas perbuatan tidak manusiawi dengan ganjaran yang lebih tidak manusiawi.

Saya coba melihat dari sudut pandang lain. Kini justru FP seolah- olah menjadi korban keganasan rasa kemanusiaan yang diusik. Puluhan cabikan yang dia perbuat, berbalas menjadi ratusan cabikan pada wajahnya. Saya bukan membela apa yang dilakukan FP. Jelas, seratus persen yang dia lakukan adalah salah dan patut diberi hukuman.

Tapi, jangan lupakan keadilan dalam penanganan kasusnya. Karena FP juga manusia, maka harus diperlakukan layaknya manusia yang tetap memiliki harga diri dan privasi. Proses hukum berjalan, tapi bukan semena-mena dengan mengekspos video perundungan terhadapnya di dalam tahanan. Video hujatan, makian, dan umpatan- umpatan memalukan lainnya, keluar dari banyak bibir yang mungkin saja merasa paling benar. Berujar atas dasar kemanusiaan. Tapi yang dilakukan justru tidak menggambarkan rasa kemanusiaan.

Bisa membayangkan, bagaimana keluarganya? Dihujat orang- orang, padahal tak turut andil apa-apa? Beda dengan keluarga yang turut menikmati hasil 'kerja keras' para koruptor. Mereka justru menerima perlakuan sangat baik dan disegani. Padahal sudah jelas, ada berapa banyak perut orang lain yang terpaksa lapar gara- gara perbuatannya. Begitu perbandingannya. Tentang keadilan yang kini justru tak lagi jadi isu menarik ketika sudah dibumbui dengan kata- kata kemanusiaan dan harta.

Kasus semacam FP mustinya menitik beratkan pada efek jera dan rehabilitasi agar berfungsi kembali secara sosial. Keberfungsian sosial ini mengacu pada tiga indikator yaitu kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan menjalani peran- peran sosialnya. Mungkin pada aspek pemenuhan kebutuhan dasar, tidak jadi masalah. Namun pada poin kedua dan ketiga perlu pendalaman masalah hingga ke akar rumput.

Apa motif FP melakukan hal itu, mengapa bisa terjadi, apa yang salah pada FP atau mungkin lingkungannya, bagaimana masa lalunya kemungkinan mempengaruhi perbuatannya sekarang, adakah trauma atau mungkin gangguan kepribadian, mungkinkah terjadi masalah kejiwaan, dan masih banyak lagi. Asesmen secara lengkap dan objektif sangat perlu dilakukan. Bukan sekadar mengandalkan asumsi dan asumsi.

Setelah itu, barulah dilakukan perencanaan tentang langkah apa yang akan ditempuh untuk 'menyembuhkannya'. Benar-benar menyembuhkannya, bukan menakutinya. Bukan seperti yang sekarang terjadi, yang justru bisa semakin melukai FP, menumpuk dendam, menggulung ketakutan dan kecemasan, yang jelas- jelas memunculkan masalah baru dan bisa saja menjadi bom waktu bagi FP maupun lingkungannya.

Post Trauma Stress Disorder (PTSD) juga bisa menjadi bayang- bayang setelah selesai menjalani masa tahanan. Belum lagi sanksi sosial yang entah sampai kapan akan ada di masyarakat. Dengan iklim yang seperti ini, bahkan nyaris mustahil dilakukan rehabilitasi yang baik dengan kontrol dan dukungan massyarakat yang baik pula. Seperti mengatasi masalah dengan menumpukkan masalah yang lain. Sama selaki tidak solutif.

Come on, apakah hukuman maling ayam cukup adil jika disamakan dengan koruptor kelas kakap? Apakah hukuman atas perbuatan FP cukup adil jika dibandingkan dengan sanksi, yang ,mungkin saja dia dan keluarganya derita seumur hidup? Sangat penting untuk membela kemanusiaan di muka bumi ini. Tapi hati- hati. Kalian yang terlalu barbar tanpa tau duduk permasalahan dan kebenaran yang sebenar-benarnya benar, justru tanpa disadari kehilangan sisi kemanusiaan kalian sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun