Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Demi Warga Apartemen, Anies Siap Hadapi Pengembang

1 Maret 2019   15:43 Diperbarui: 1 Maret 2019   17:26 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berkeliling di lingkungan Apartemen Kalibata City. Anies menuturkan prostitusi yang marak terjadi di apartemen itu menjadi perhatian Pemprov DKI Jakarta.(Instagram Anies Baswedan)

Apa yang ada di benak Anda jika ditanya soal apartemen? Kebanyakan dari kita mungkin membayangkan yang indah-indah. Apartemen, flat, kondominium atau apapun sebutan lainnya identik dengan tempat tinggal kaum berduit. Berbagai fasilitas tersedia. Mau apa saja ada. Pernahkah terbayang berbagai keruwetan yang terjadi di hunian vertikal tersebut?

Saya mulai merasa ada yang tidak beres ketika banyak warga apartemen yang datang ke kantor saya meminta pembentukan RT/RW di lingkungannya. Kebetulan saya bertugas di bagian yang menangani pembinaan lembaga kemasyarakatan di Provinsi DKI Jakarta. RT dan RW merupakan salah duanya.

Jujur saja, saya sebelumnya sudah punya prasangka bahwa orang yang tinggal di apartemen punya kecenderungan individualistis. Sama halnya dengan yang tinggal di rumah tapak namun dalam cluster tertutup atau biasa dikenal gated community. Lalu kenapa banyak warga apartemen ini menginginkan RT dan RW tersendiri?

Oh iya, sebetulnya setiap jengkal tanah di Jakarta secara administrasi pasti sudah terbagi habis dalam wilayah RT dan RW tertentu. Pun demikian dengan di lingkungan apartemen, umumya sudah ditetapkan menginduk ke RT/RW lingkungan tapak terdekat.

Warga apartemen yang saya ceritakan datang tadi ingin punya RT dan RW tersendiri di lingkungan huniannya. Otomatis pengurusnya pun berasal dari warga di dalam kawasan apartemen tersebut. Ini sungguh anomali di tengah banyaknya kawasan elite (permukiman tapak) yang warganya tidak mau menjadi pengurus RT/RW.

Belakangan ketika sudah mendengar curhatan mereka, saya mulai paham. Ada motif lain daripada sekadar butuh wahana sosial kemasyarakatan melalui lembaga bernama RT dan RW. Ada yang sedang mereka perjuangkan. Umumnya mereka adalah kelompok yang 'terzalimi' di lingkungannya. Ternyata tinggal di apartemen tidak seindah yang saya bayangkan sebelumnya.

Di hunian vertikal, ada yang namanya Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS). Lembaga ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Kewenangan pengelolaan bangunan bersama dan tanah bersama berada di P3SRS.

Jika P3SRS benar-benar merupakan representasi warga, bisa dipastikan tidak akan merugikan sesama warga. Tapi, dalam prakteknya ada masalah dengan P3SRS ini. Di sebagian lokasi, P3SRS tidak kunjung terbentuk sehingga pengelolaan apartemen masih di tangan pengembang/pengelola. Sementara di apartemen lain P3SRS sudah ada namun tetap berada di bawah bayang-bayang pengembang, dengan berbagai modus yang dilakukan.

sumber foto: beritajakarta.id
sumber foto: beritajakarta.id
Apa akibatnya? Orientasi pengelolaan apartemen melulu soal profit. Tak ada urusan apartemen itu jadi sarang prostitusi, narkoba dan berbagai kejahatan lain. Tingkat okupansi yang dikejar. Mau sewa tahunan, bulanan, harian atau jam-jaman, pengelola tutup mata.

Belum lagi soal penetapan tarif Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) yang meliputi air, listrik, kebersihan, keamanan dan lain-lain. Pengelola ataupun 'P3SRS boneka' bisa menetapkan sepihak. Tarif listrik dan air jauh lebih tinggi dari harga yang mereka bayarkan ke vendor. Kalau warga berkeberatan, mereka tak segan menyetop aliran listrik maupun air. Banyak lagi persoalan yang pernah diceritakan oleh perwakilan warga apartemen.

Boleh jadi upaya warga membentuk RT dan RW adalah sebagai strategi perlawanan. Mereka butuh satu lembaga yang diakui eksistensinya. Sebagian bahkan menginginkan agar pengelolaan lingkungan dialihkan ke RT/RW seperti halnya di lingkungan permukiman tapak. Tentu saja tidak bisa, karena pemberian kewenangan kepada RT/RW melalui Peraturan Gubernur akan 'kalah' dengan kewenangan P3SRS yang merupakan amanat Undang-Undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun