Mohon tunggu...
T Hindarto
T Hindarto Mohon Tunggu...

Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik

MALAM JAHANAM 30 SEPTEMBER 1965: SIAPA MENGUDETA SIAPA?

1 Oktober 2014   14:43 Diperbarui: 12 Oktober 2015   11:23 2648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14121241971424969054


Tanggal 30 September 1965 pk 03.00 di bawah komando Letkol Untung Samsuri, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (pasukan kawal presiden) akan dilaksanakan penculikan tujuh pimpinan TNI Angkatan Darat yang disebut-sebut sebagai Dewan Jenderal. Ketujuh perwira Angkatan Darat tersebut adalah Jenderal Nasution (Menko Hankam/KSAB), Letjen Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen Suprapto, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen A. Sukendro, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, Brigjen D.I. Panjaitan. Dari kedelapan jenderal hanya tujuh yang dipastikan ada di Jakarta dan Brigjen A. Sukendro sedang berada di RRC.

Operasi penculikan Dewan Jendral dinamai "Operasi Takari" yang terdiri dari tiga kesatuan pasukan yaitu Pasukan Pasopati, Pasukan Bimasakti, Pasukan Gatotkaca. Pasukan Pasopati dipimpin oleh Letkol Dul Arief dari Resimen Cakrabirawa dengan tugas menculik ketujuh jendral dalam keadaan hidup atau mati. Pasukan Bimasakti dipimpin oleh Kapten Suradi Prawirohardjo dari Brigif-1 Jayasakti/Jakarta dengan tugas menguasai Jakarta Raya dan sarana vital seperti Radio Republik Indonesia (RRI). Pasukan Gatotkaca dipimpin oleh Mayor Gatot Sukrisno yang akan menggunakan kawasan Lubang Buaya sebagai basis kekuatan sekaligus tempat menampung tujuh jenderal yang mereka sebut Dewan Jenderal. Sebagai lawan dari Dewan Jenderal, pasukan penculik ini menamakan dirinya Dewan Revolusi.

Selebihnya kita semua mengetahui apa yang selanjutnya terjadi sebagaimana digambarkan dalam film berjudul G 30 S/PKI karya Arifin C. Noer pada tahun 1980-an. Kesadisan dan kekerasan yang dipertontonkan dalam aksi penculikkan yang berujung pembantaian ketujuh jenderal Angkatan Darat yang memilukan hati dan mengharu biru perasaan kebangsan kita. Film ini rutin menghiasi layar kaca satu-satunya televisi di Indonesia kala itu yaitu TVRI (Televisi Republik Indonesia) sejak tahun 1987 hingga 1997.

Aksi petualangan pasukan penculik berakhir Tanggal 1-5 Oktober 1965 dimulai dengan penguasaan kembali Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi oleh kesatuan RPKAD pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, pasukan Para Kujang/328 Siliwangi, dan dibantu pasukan kavaleri. Dilanjutkan Tanggal 2 Oktober penguasaan Bandara Halim Perdana Kusuma oleh kesatuan RPKAD. Berlanjut Tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang Buaya dan dalam beberapa jam kemudian menindaklanjuti informasi proses eksekusi para jenderal di sekitar Lubang Buaya, maka pasukan RPKAD berhasil menemukan mayat ketujuh jenderal tersebut yang ditanam dalam satu lubang dengan kedalaman 12 meter bergaris tengah 3/4 meter. Pengangkatan jenasah dilakukan tanggal 4 Oktober dan tanggal 5 Oktober dilaksanakan penguburan jenasah para tujuh jenderal yang kemudian disebut Pahlawan Revolusi.

Sebelum Reformasi, tafsir tunggal dalang peristiwa penculikkan tujuh jenderal adalah Partai Komunis Indonesia yang hendak menggulingkan pemerintahan yang sah melalui kudeta. Bahkan lebih jauh dalam buku berjudul SIAPA MENABUR ANGIN AKAN MENUAI BADAI: G30S-PKI DAN PERAN BUNG KARNO, karya jurnalis Soegiarso Soerojo disebutkan keterlibatan Presiden Soekarno dikarenakan mengetahui dan merestui aksi penculikkan tersebut (1988:259-268).

Paska runtuhnya Orde Baru (ORBA) mulai berkembang berbagai tafsir dan analisis berkaitan siapa dan motif apa dibalik peristiwa malam jahanam 30 September 1965 lalu.

Dalam buku berjudul KUDETA 1 OKTOBER 1965: SEBUAH ANALISIS AWAL (Cornell P aper) karya Benedict R.O’G. Anderson dan Ruth T. McVey (Syarikat, 2001) disebutkan bahwa peristiwa G-30-S sebagai pemberontakan para perwira muda –khususnya dari Divisi Diponegoro– terhadap kepemimpinan Angkatan Darat yang korup dan kebarat-baratan, serta dianggap akan menyabot kebijakan politik dari Presiden Sukarno.

Dalam buku MILITER DAN POLITIK DI INDONESIA karya Harold Crouch (Sinar Harapan, 1999) dijelaskan bahwa peristiwa G-30-S lahir dari pertemuan kepentingan antara perwira progresif dengan suatu klik terbatas dalam kepemimpinan PKI untuk melawan pimpinan AD karena mengkhawatirkan kemungkinan pengambilalihan kekuasaan oleh AD jika Sukarno wafat (Presiden Sukarno mengalami sakit serius pada awal Agustus 1965)

Dalam buku APAKAH SOEKARNO TERLIBAT PERISTIWA G30S? Karya Kerstin Beise (Ombak, 2004) dijelaskan bahwa G-30-S disebut sebagai gerakan kontra-revolusi yang didalangi PKI, kemudian seiring dengan diadakannya pengadilan militer, mulai tersiar indikasi bahwa presiden telah mengetahui sebelumnya mengenai rencana penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah jenderal. Munculnya isu keterlibatan Bung Karno baru gencar pada pertengahan kedua tahun 1966 ketika ia bersikeras menolak keinginan AD untuk melarang komunisme. Akhirnya setelah Bung Karno bersedia mundur dari kekuasaan, barulah Suharto menyatakan bahwa keterlibatan mantan presiden itu “belum dapat dibuktikan”.

Dalam buku TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966 karya Rum Aly (Kata Hasta Pustaka, 2006) disebutkan bahwa peristiwa G-30-S sebagai suatu insiden kompleks yang tidak dapat ditentukan dalangnya, karena masing-masing kekuatan memiliki kontribusi dalam mendorong terjadinya peristiwa. Presiden Sukarno memiliki kepentingan menggeser pimpinan AD yang tak loyal, tetapi ia tidak memiliki kendali atas gerakan yang berkembang jauh di luar keinginannya. G-30-S sendiri adalah konspirasi antara Untung sebagai pimpinan prajurit loyalis Sukarno dengan Sjam yang mengemban misi dari ketua PKI Aidit untuk “memukul terlebih dahulu” kepemimpinan AD.

Buku dengan judul DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO karya John Roosa (ISSI / Hasta Mitra, 2008) menjelaskan bahwa gerakan G-30-S menyatakan diri ingin melindungi Sukarno, tetapi juga ingin mendongkelnya, adanya banyak pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan, serta sejumlah ‘human error’ dalam operasi militer tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun