Pernah nggak sih kita ketemu sama orang yang keliatannya selalu tenang, nggak pernah marah, nggak pernah cerita apa-apa, pokoknya hidupnya kayak lurus-lurus aja? Padahal sebenernya, di balik diamnya itu ada badai yang nggak pernah berhenti. Nah, cerita ini tentang seorang gadis yang sejak kecil terbiasa nyimpen semua isi hati sendiri. Dia nggak pernah cerita, nggak pernah ngeluarin unek-unek, sampai akhirnya jadi terbiasa "baik-baik aja" meski sebenernya hancur di dalam.
Masalahnya, trauma dari orang-orang terdekat bikin dia susah percaya sama siapa pun. Jadi tiap ada rasa sedih, marah, atau kecewa, dia cuma bisa nangis diam-diam. Nggak ada tempat buat bersandar, nggak ada telinga buat dengerin. Lama-lama, efeknya bukan cuma di hati, tapi juga di pikiran dan tubuh. Dia jadi gampang overthinking, sering panik attack, dan kesulitan ngomong sama orang lain.
Kalau dibawa ke kacamata psikologi pendidikan, sebenarnya hal kayak gini tuh bisa ngaruh banget ke perkembangan seseorang, apalagi di usia remaja sampai kuliah. Menurut teori Erik Erikson soal psychosocial development, tahap remaja itu identik sama pencarian jati diri dan kebutuhan akan hubungan sosial yang sehat. Kalau di tahap ini seseorang justru terbiasa menutup diri karena trauma, maka dia bisa kesulitan membentuk kepercayaan dan identitas diri yang stabil.
Selain itu, penelitian juga nunjukin kalau emotional suppression alias kebiasaan memendam emosi bisa meningkatkan risiko gangguan kecemasan dan depresi (Gross & John, 2003, Journal of Personality and Social Psychology). Jadi wajar banget kalau si gadis ini akhirnya ngalamin panik attack atau kesulitan komunikasi, karena otaknya kayak kebanjiran emosi yang nggak pernah dikasih jalan keluar.
Nah, di sisi lain, psikologi pendidikan juga ngajarin kita tentang pentingnya lingkungan suportif. Guru, teman, bahkan keluarga bisa jadi faktor penting biar seseorang berani cerita dan pelan-pelan belajar percaya lagi. Konsep ini sering disebut scaffolding dalam teori Vygotsky, yaitu dukungan dari orang lain buat membantu individu berkembang. Artinya, diamnya dia bukan sekadar "pendiam bawaan lahir", tapi ada luka yang bikin dia belum nemu ruang aman.
Jadi, buat kita yang mungkin punya teman atau kenalan kayak gadis ini, jangan gampang nge-judge dengan kalimat "kok lo diem aja sih?" atau "lo tuh aneh banget nggak pernah cerita". Kadang yang mereka butuhin bukan nasehat panjang, tapi cukup ditemenin, didengerin, tanpa dihakimi. Karena kadang, healing itu dimulai dari ditemukannya satu orang yang benar-benar mau mendengar tanpa bikin takut.
Pada akhirnya, diam memang bisa jadi tameng, tapi bukan berarti selalu tanda kekuatan. Ada kalanya diam itu jeritan paling keras yang nggak bisa mereka suarain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI