Seperti yang kita ketahui bahwasannya demonstrasi belakangan ini menandai babak baru hubungan antara dunia akademik dan ruang publik. Kampus kampus kembali menegaskan diei sebagai tuan moral dan intelektual yang tidak bisa diam di tengah kejolak sosial-politik bangsa. Suara ini bukan sekedar formalitas, melainkan pesan simbolik bahwa perguruan tinggi masih bisa memiliki penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap kewenangan untuk mengawal kearah perubahan.
Tradisi ini tentu buakn hal asing, kemabli lagi ke tahun tahun sebelumnya, mulai dari geraka 1966, peritiwa 1974, hingga reformasi 1998. Bedanya, jika dulu mahasiswa mahasiswa cukup dengan turun jalan dan menyuarakan keresahan rakyat, namun saat ini dibutuhkan kanal tambahan resmi dari institusi. Tindakan ini dapat berfungsi ganda, di satu sisi sebagai dukungan moral terhadap aspirasi mahasiswa, disisi lainsebagai tameng agar suara kritir tidak mudah di delegitimasi dengan tuduhan anarkis.
Di era yang serba digital ini, pernyataan sikap kampus juga memiliki makna strategis. Demosntrasi di jalan seringkali digiring oleh media, ada yang menyorot tentang keributan, ada yang menonjolkan keberanian mahasiswa, ini lah yang membuat masyarakat terpecah. Dalam situasi seperti ini, suara resmi kampus memberi bobot yang berbeda, ia mengikat argumen mahasiswa pada fondasi akademis, etis, dan keilmuan. Kampus dengan demikian mengambil alih sebagai narasi publik dan menyodorkan otoritas moral untuk memperkuat posisi mahasiswa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI