Kritik ini sangat relevan dalam dunia digital saat ini, di mana budaya velocity mendorong perempuan untuk tampil baik sebagai simbol moralitas maupun kebebasan. Pakaian menjadi bukan sekadar pilihan personal, tapi komoditas yang penuh makna dan nilai jual, yang diproduksi, dipromosikan, dan dikonsumsi dalam kecepatan luar biasa. Media sosial memperkuat simulasi ini, menjadikan baik hijab fashion maupun bikini haul sama-sama sebagai "konten".
Kapitalisme feminis hari ini tidak lagi menekan perempuan secara vulgar, melainkan memberi mereka ilusi kebebasan dan pilihan, padahal pilihan-pilihan itu telah dibentuk oleh sistem yang ingin memonetisasi tubuh dan identitas mereka. Maka, perempuan yang merasa berdaya karena bisa "memilih" tampil tertutup atau bahkan nampak tubuh seksi, pada dasarnya tetap berada dalam skema kontrol yang sama hanya dengan kemasan berbeda.
Selain itu,fenomena algoritma velocity mekanisme percepatan penyebaran konten di media sosial justru didominasi oleh narasi dan tubuh perempuan. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube Shorts menampilkan konten perempuan lebih sering, karena algoritma mengikuti logika engagement bukan kesetaraan. Tubuh perempuan yang konsisten tampil estetis dan responsif terhadap tren mudah "naik" secara algoritmis. Di sini, kecepatan (velocity) menjadi ruang baru di mana tubuh perempuan diproduksi sebagai alat kapital, menghasilkan likes dan monetisasi sering tanpa disadari pelakunya.Â
Ini bukan berarti perempuan tak boleh berkreasi, melainkan pengingat bahwa ruang digital juga sarat kekuasaan simbolik dan ekonomi. Kapitalisme memadukan penundukan dengan "pilihan", self-expression, dan empowerment, namun praktiknya menuntut perempuan tampil sesuai standar dan memperbarui citra diri dengan kecepatan yang melelahkan.
Maka, solusi bukan soal membuka atau menutup tubuh, melainkan membuka pikiran dan menutup permainan pasar atas tubuh perempuan. Kesadaranlah yang membebaskan. Bukan hijab, dandanan, atau konten viral, tapi kebebasan berpikir yang membuat tubuh perempuan keluar dari bingkai pasar yang menyematkan nilai diri berdasarkan estetika komersial. Dilemalah jadinya
Perempuan dalam Sejarah Peradaban Nusantara
Di tengah derasnya modernisasi yang kerap melupakan akar, penting menoleh ke belakang, mengingat perempuan Nusantara sejatinya telah menjadi pelaku utama peradaban. Artikel "Potret Gerakan Perempuan dalam Sejarah Peradaban Nusantara" oleh Nurul Millah (NU Online Jakarta) menegaskan bahwa perempuan bukan pelengkap sejarah, melainkan subjek perubahan sosial, politik, dan budaya. Figur seperti Ratu Sima, Ratu Kalinyamat, Maria Walanda Maramis, Fatimah binti Abdul Wahab (Bugis), Nyai Siti Walidah (Nyi Ahmad Dahlan), Rahmah El Yunusiyah dan masih banyak lagi yang lain belum sempat dituliskan namanya. mereka membuktikan perempuan telah lama memikul peran kepemimpinan, pendidikan, dan perlawanan terhadap penindasan.
Namun narasi sejarah arus utama bias gender, menjadikan peran perempuan sekadar catatan kaki. Sistem patriarkal lebih menonjolkan tokoh laki-laki, sementara perempuan 'ditenggelamkan' dalam narasi domestikasi. Kondisi ini menuntut penulisan ulang sejarah berperspektif gender agar generasi kini tak hanya memperjuangkan hak lewat simbol semu, tetapi memahami akar perjuangan perempuan yang sudah lama ada.
Dengan menyadari warisan ini, gerakan perempuan hari ini harus berdiri di atas fondasi sejarah lokal yang kuat, bukan sekadar mengikuti tren global. Perempuan tidak hanya hadir sebagai representasi visual, tapi sebagai kesadaran kolektif yang menautkan perjuangan lintas generasi---menjadi agen perubahan sejati, bukan sekadar konsumen estetika pasar.
Islam, Pendidikan, dan Emansipasi Perempuan
Dalam ajaran Islam, pendidikan bukan sekadar hak yang boleh diambil atau tidak, melainkan tuntutan agama yang menjadi jalan untuk mengenal Tuhan dan membebaskan diri dari kebodohan. Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan, "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim, laki-laki maupun perempuan." (HR. Ibnu Majah). Pernyataan ini sangat revolusioner, terutama dalam konteks Arab pra-Islam yang meminggirkan perempuan dari ruang publik, apalagi dari pendidikan.
Sayangnya, semangat pembebasan yang ditanamkan Islam ini sering dikaburkan oleh budaya patriarkal yang masih melekat hingga kini. Banyak komunitas yang masih menganggap bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi karena kelak "akan kembali ke dapur". Pandangan ini tidak hanya merendahkan peran perempuan, tetapi juga bertentangan secara langsung dengan spirit Islam itu sendiri.
Lebih jauh, pendidikan bagi perempuan bukan hanya soal kemampuan membaca dan menulis. Ia adalah alat emansipasi, cara untuk membangun daya kritis agar tidak mudah dijadikan objek dari sistem yang menindas termasuk sistem ekonomi kapitalistik yang kerap mengeksploitasi tubuh dan peran perempuan, seperti telah dikritik oleh tokoh feminis Muslim seperti Nawal El Saadawi.