Mohon tunggu...
Shaleh Muhammad
Shaleh Muhammad Mohon Tunggu... PMII Maros / Wanua Masennang

Merasa perlu menulis untuk mencatat jejak zamannya, merekam kegelisahan hatinya, serta menyuarakan hal-hal yang selama ini luput dari perhatian. Berbekal sedikit pengetahuan, kepekaan rasa, dan dorongan iman serta akal, ia berusaha menjadikan tulisan sebagai jembatan antara pikirannya dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Estetika yang terpenjara. ketika Algoritma trend Perempuan

21 Mei 2025   22:04 Diperbarui: 21 Mei 2025   22:12 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Diksusi (Sumber Generator Ai)

Dalam konteks ini, pendidikan tidak boleh dimaknai semata sebagai akumulasi ijazah, tetapi sebagai proses pembebasan intelektual dan spiritual. Perempuan yang terdidik akan lebih mampu menentukan sikap terhadap tubuhnya sendiri, terhadap bagaimana ia hadir di ruang sosial, serta terhadap narasi yang mencoba mengekang perannya hanya pada ruang domestik.

Maka, dalam Islam sejati, pendidikan perempuan bukan pilihan alternatif. Ia adalah pondasi peradaban. Tanpa perempuan yang terdidik, mustahil membentuk masyarakat yang adil, beradab, dan beriman. Seperti halnya Khadijah, Aisyah, atau Fatimah Az-Zahra perempuan-perempuan yang bukan hanya cerdas, tetapi juga menjadi pilar perubahan pada zamannya.

akhir kata. Saya ijin duluan (Satu-persatu dari kami pamitan)

Dan di penghujung diskusi itu di meja kayu yang mulai dingin oleh sisa waktu, dalam ruangan ber-AC yang tak lagi ramai kami menyadari bahwa tubuh perempuan tak pernah benar-benar bebas jika pikirannya masih dijajah oleh standar yang diproduksi pasar. Bahwa sejarah perempuan bukan hanya kisah masa lalu, tapi landasan untuk menentukan arah gerakan hari ini. Bahwa Islam pun, jika dibaca dengan jernih dan adil, tak pernah membelenggu perempuan, justru mendorongnya untuk menjadi subjek perubahan. Maka, bukan soal membuka atau menutup tubuh, tapi soal siapa yang mengendalikan makna di baliknya. Di tengah algoritma yang terus menggiring citra, hanya pikiran merdeka yang bisa menuntun perempuan kembali pada dirinya sendiri. Di situlah revolusi dimulai bukan di layar ponsel, tetapi di kesadaran yang tak bisa dijual.

Hanya dengan pikiran yang merdeka, tubuh perempuan bisa berfungsi bukan sebagai etalase pasar, tetapi sebagai alat perubahan sosial, seperti telah ditunjukkan oleh para perempuan hebat dalam sejarah Islam dan Nusantara."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun