Mohon tunggu...
Shaleh Muhammad
Shaleh Muhammad Mohon Tunggu... PMII Maros / Wanua Masennang

Merasa perlu menulis untuk mencatat jejak zamannya, merekam kegelisahan hatinya, serta menyuarakan hal-hal yang selama ini luput dari perhatian. Berbekal sedikit pengetahuan, kepekaan rasa, dan dorongan iman serta akal, ia berusaha menjadikan tulisan sebagai jembatan antara pikirannya dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Melampaui Hukuman. Perjalanan dalam dinamika Lembaga

19 Mei 2025   11:02 Diperbarui: 19 Mei 2025   20:06 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kakak Adek (Sumber AI Gen)


Ah, mungkin itu hanya karena saya terlalu mendalami peran sebagai atasan!


Akhir-akhir ini, kita memang masih punya tanggung jawab penuh sebagai organisatoris. Entah karena masih aktif berkecimpung dan berproses di dalamnya, atau karena menjabat sebagai pengurus. Atau mungkin lebih dalam dari itu kita merasa memiliki basis moral dalam lembaga ini, yang membuat kita tetap mempertahankan idealisme dan cinta terhadap organisasi.
Namun, sesekali muncul pertanyaan sederhana tapi menggelisahkan..

Apakah kehadiran kita di organisasi ini masih murni karena cinta kepada lembaga?
Ataukah karena sudah ada anggotanya yang cantik, matanya bening seperti bola pingpong (kata Iwan Fals), pipinya kemerahan, dan ketika senyum luntur sudah idealisme para senior? Hahaha. Bisa saja itu alasannya, hingga kita nyaman dan enggan beranjak dari tempat ini. Begitu pun sebaliknya. Barangkali ada juga yang bertahan karena melihat anggota yang tampan, manis, dengan lesung pipi ala Raim Laode.

Ada-ada saja alasan orang untuk tetap berproses di organisasi yang dicintainya. Tapi semoga kecintaan itu menjadi kesepakatan bersama, bukan sekadar dorongan pribadi yang bias. Pertanyaan mendasarnya sebenarnya bukan untuk mereka yang baru datang. Tapi untuk kita mereka yang mengawal, yang sudah lama berada dalam sistem.
Kadang kala, ketika sistem itu tak berjalan sebagaimana mestinya laa yamuutu fiiha wa laa yahyaa (tidak hidup, tidak pula mati) kita merasa gelisah. Ada dorongan untuk memperbaiki, meski kadang terasa seperti pesimisme terhadap pengurus masa kini.
Bahkan ada keinginan untuk menindak, memberi sanksi atas amanah yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Tapi, pantaskah itu?


Baru-baru ini, saya menulis catatan kecil tentang bagaimana peran pendidik dalam dunia pendidikan. Setidaknya ada tiga bentuk pendidik yang kita kenal..
Pertama,  Guru sebagai pendidik formal di sekolah,
Kedua, Orang tua sebagai suri teladan di rumah, dan
Ketiga, Tokoh masyarakat atau pemimpin sebagai pendidik sosial di tengah masyarakat.
Tiga bentuk ini bisa kita persempit dalam konteks organisasi, di mana pendidiknya adalah kita semua, seluruh anggota yang terlibat di dalamnya. Karena tawaran paling relevan untuk kita, di usia ini, adalah proses belajar bersama. Maka tepatlah pepatah itu, semua orang adalah guru, dan semua tempat adalah sekolah.

Tinggal bagaimana kita menentukan pilihan-pilihan mana yang akan kita tempuh, dan nilai-nilai mana yang akan kita pelajari dan hayati bersama. Lalu, di mana letaknya peran struktur di atas kita?
Bukankah itu adalah bentuk otoritas? Coba perhatikan baik-baik dalam setiap struktur kepengurusan, selalu ada bagian yang disebut majelis pembina atau penasehat. Untuk apa mereka hadir?

Tentu bukan hanya sebagai formalitas. Tapi sebagai pengontrol dan pengingat, agar kita tetap berada di koridor perjuangan yang benar. Agar idealisme tidak larut dalam kenyamanan atau kebebasan tanpa arah. Mereka hadir bukan untuk membatasi, tapi untuk menjaga arah; bukan untuk mendikte, tapi untuk menuntun ketika kita mulai kehilangan arah.

Tapi bagaimana jika nasihat itu terus-menerus dilewatkan begitu saja?


Jika arahan dari para pembina hanya dianggap angin lalu dipertimbangkan sekilas, lalu ditinggalkan tanpa jejak?
Padahal, nasihat bukan datang dari ruang kosong. Ia lahir dari pengalaman, dari kekhawatiran, dari cinta yang tak ingin melihat kita jatuh ke lubang yang sama. Tapi seringkali, karena kita merasa sudah tahu segalanya, atau karena ego yang tak mau dituntun, nasihat itu tak lagi punya tempat.
Ingatlah satu hal dalam ayat-ayat Tuhan, sudah disebutkan bahwa prasangka bisa menghancurkan.
"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian prasangka itu adalah dosa..." (Q.S. Al-Hujurat: 12)


Seringkali kita menolak nasihat bukan karena isinya salah, tapi karena hati kita sudah penuh prasangka..
"Ah, mereka hanya ingin mengatur..."
"Ah, mereka tak paham realitas kami..."
"Ah, ini zamannya beda..."
Padahal, jika kita bersihkan dulu hati dari prasangka, mungkin nasihat itu justru menyelamatkan kita. Mungkin arahannya sederhana, tapi bisa menjadi cahaya dalam kebingungan.
Dalam organisasi seperti dalam kehidupan yang dibutuhkan bukan hanya semangat dan keberanian, tapi juga kerendahan hati untuk mendengar, serta kebesaran jiwa untuk menerima koreksi.


Guide Intruction juga penting


Saya teringat satu pengalaman berharga bersama guru saya, saat sorogan di bawah kolong rumahnya yang sederhana. Kala itu, beliau berkata:

"Saya dulu (ujar seoarng guru), kalau melihat guru saya lewat, kami semua murid tidak berani bergerak sampai beliau benar-benar sudah berlalu. Saking takdzimnya kami, kalau lewat di depan rumahnya pun, kami pastikan kepala kami tidak ada yang lebih tinggi dari pagar rumahnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun