Mohon tunggu...
Shafhi Vannur
Shafhi Vannur Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa asal Pamulang yang menjalani kuliah di Universitas UIN Jakarta Fakultas Ekonomi dan Bisnis dengan hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana GoPay dalam Pandangan Islam? Berikut Penjelasannya

24 Juni 2021   16:23 Diperbarui: 24 Juni 2021   16:29 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, isi saldo via bank. Para pengguna layanan Go-Pay dapat melakukan isi saldo melalui bank pilihan dengan menggunakan ATM, mobile banking, internet banking, atau sms banking.

Bagaimana pandangan ulama tentang gopay?

Sebelumnya kita harus mengetahui apa itu Go-Pay. Go-Pay adalah layanan pembayaran online yang disediakan oleh Gojek. Pada mulanya ojek online hanya menerima pembayaran lewat uang tunai (cash). Namun kini ojek online menyediakan layanan pembayaran online yang memiliki berbagai benefit dibanding pembayaran uang tunai (cash), diantara kemudahan yang ditawarkan adalah customer tidak perlu membawa uang cash serta adanya potongan harga atau promosi.

Potongan harga yang ditawarkan ojek online pada fitur Go-Pay ini sangatlah menarik pelanggan (customer). Namun fitur Go-Pay ini juga menyita perhatian para muslim khususnya ahli fikih yang mendebatkan apakah transaksi didalamnya boleh (mubah) atau tidak boleh dalam islam. Ada dua pandangan fiqih dalam kasus ini yaitu tidak boleh (ada riba) dan boleh.

Pandangan pertama adalah adanya riba di dalam fitur Go-pay. Menurut beberapa analisis fiqih, skema Go-pay dapat diidentifikasikan sebagai akad utang-piutang (qardh). Disini saya akan mencoba mengambil intisari dari kajian para ahli fikih mualamah kontemporer. Identifikasi akad utang-piutang terjadi saaat pelanggan meminjamkan uang kepada pihak Go-Jek, yang berarti pelanggan sebagai pemberi pinjaman (piutang) dan pihak Go-Jek sebagai peminjam (utang). Indikasi dari penarikan hukum utang-piutang (qardh) adalah saldo Go-pay bisa ditarik tunai dan bisa ditransfer antar rekening Go-pay (skema akad dikatakan seperti menaruh uang di Bank). Jika akad yang terjadi adalah utang piutang maka tambahan manfaat dari utang ini adalah riba. Ketika Go-pay memberikan potongan harga kepada penggunanya, maka tambahan manfaat dari pengguna Go-pay dalam hal ini adalah pemberi utang. Gambarannya adalah ketika seseorang ingin menggunakan jasa Go-Jek membayar normal dengan uang tunai (cash) seharga Rp.10.000 namun ia melihat ada potongan harga (promo) jika membayar menggunakan Go-Pay harganya menjadi Rp.7.000 orang itu akhirnya menggunakan Go-Pay untuk membayar seharga Rp.7.000 Dalam hal ini ada riba sebesar Rp.3.000 karena dalam akad utang-piutang (qardh) tidak boleh ada tambahan manfaat bagi pemberi pinjaman (pelanggan). Jadi hukum Go-Pay dalam analisis pertama adalah adanya riba.

Pandangan kedua dalam penggunaan fitur Go-Pay adalah boleh (mubah). Beberapa ahli fikih muamalah lain berpendapat bahwa hukum yang mengidentifikasi skema Go-Pay bukan akad utang-piutang (qardh), melainkan diidentifikasikan dengan skema akad jual-beli jasa. Indikasi dari akad jual-beli ini adalah pihak pelanggan mendepositkan uangnya dalam Go-Pay (mirip dengan deposit di e-money), dan customer bertransaksi langsung dengan gojek dengan mendepositkan sejumlah dana tertentu di Go-Pay untuk pembayaran atas jasa gojek yang akan dimanfaatkan di kemudian hari. Maka substansi akadnya bukan utang, tetapi jual beli jasa. Deposit itu sebagai upah yang dibayarkan di muka. Dalam pendapat ini customer tidak dianggap bermuamalah dengan bank melainkan dengan pihak Gojek layaknya e-money. Dengan begitu, maka skema ijarah maushufah fi dzimmah menurut pendapat kedua lebih tepat untuk kasus Go-pay, dimana bayaran atau fee (ujrah) dibayar dimuka, lalu manfaat diperoleh kemudian. Sehingga potongan harga yang terjadi adalah di  dalam skema akad jual beli yang mana halal hukumnya.  Jadi, keikutsertaan customer dalam Go-Pay adalah boleh (mubah) menurut pendapat kedua.

Menyikapi perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih terkait skema yang merimplikasi pada perbedaan hukum potongan harga saat menggunakan fitur Go-pay, disini saya pribadi mencoba mengingatkan kepada pembaca untuk menghormati perbedaan pendapat dan hasil pemikiran para Ulama Fikih kita. Adanya perbedaan pendapat diantara ahli Ulama khususnya ahli fikih terkait hukum dalam bermuamalah adalah hal yang wajar. Mengambil pendapat yang lebih kuat dan meninggalkan pendapat yang lebih lemah adalah yang terbaik untuk kita. Namun perlu diingat, kita sebagai muslim yang awam juga perlu melakukan tindakan berjaga-jaga.

Jika kita menghindari kemungkinan buruk dengan meninggalkan fitur Go-PJika kita menghindari kemungkinan buruk dengan meninggalkan fitur Go-Pay sekalipun, layanan jasa ojek online masih bisa kita gunakan. Berbagai kemudahan dalam bermuamalah yang sudah kita dapatkan hendaknya kita syukuri dan jangan sampai membuat kita menjadi seorang muslim yang terlalu mencari-cari kemudahan dalam bersyariat dan lebih condong pada hawa nafsu sehingga kurang berhati-hati. Karena sejatinya seorang muslim patut cemas terjerumus kedalam kebathilan. Menghindari sesuatu perkara yang masih abu-abu dan belum jelas kebenarannya adalah lebih selamat untuk kita.

Dari Abu Abdillah an Nu'man bin Basyir Radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (samar, belum jelas) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Maka barangsiapa yang menjaga (dirinya) dari syubhat, ia telah berlepas diri (demi keselamatan) agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat, ia pun terjerumus ke dalam (hal-hal yang) haram. Bagaikan seorang penggembala yang menggembalakan hewan ternaknya di sekitar kawasan terlarang, maka hampir-hampir (dikhawatirkan) akan memasukinya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa (raja) memiliki kawasan terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya kawasan terlarang Allah adalah hal-hal yang diharamkanNya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging tersebut baik, (maka) baiklah seluruh tubuhnya. Dan apabila segumpal daging tersebut buruk, (maka) buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati". [HR al Bukhari dan Muslim].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun