Mohon tunggu...
Shafa Varera
Shafa Varera Mohon Tunggu... Freelancer - Be better everytime

bercerita untuk berbagi dan bermanfaat. mom's of two child and a wife, blogger and listener

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Demi Sekolah, Kami Terjerat Rentenir

31 Mei 2019   22:22 Diperbarui: 31 Mei 2019   22:31 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ibu semakin kurus, tak mau makan karena terror yang terus diterimanya dari Indri dan Harto. Orang yang awalnya mengajak ibu bekerjasama untuk meminjamkan uang milik kakaknya untuk dipinjam orang lain dan mereka bisa menerima bunga bagi hasil. Kebutuhan yang semakin tinggi tidak dibarengi dengan kenaikan gaji Bapak membuat Ibu tergiur mendapatkan tambahan penghasilan. Dia juga meminjam untuk membuat sebuah usaha untuk bisa dijadikan sebagai tambahan penghasilan. Namun, Ibu tidak pernah menceritakan pada kami tentang usahanya ini. Dia lupa kalau apa yan dilakukannya ini haram. Praktek rentenir yang sangat mencekik.

Beberapa tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku SMA, aku memutuskan untuk sekolah di luar kota dengan pertimbangan disana merupakan sekolah favorit. Banyak lulusannya yang berhasil dan disana tempat bersaing banyak orang pandai. Meski nilaiku tidak terlalu tinggi, tapi cukup untuk bisa masuk ke sekolah ini tanpa perlu khawatir. Meski biaya sekolah dan trasnsportasi lebih mahal, tapi aku yakin bisa. Toh, ada beasiswa yang bisa ditempuh kalau aku memang mampu mengikuti pelajarannya. 

Ditambah adik laki-lakiku yang juga sekolah di kota yang sama denganku, tapi dia memilih SMK. Biaya sekolah kami tidak sedikit. Melihat gaji Bapak yang hanya seorang konsultant jalan tol, sebenarnya tidak mungkin bisa menyekolahkan kami di sekolah dengan biaya tinggi. Namun, Ibu ingin melihat cita-cita kami tercapai. Dia ingin memberikan pendidikan terbaik bagi kami. Dia tidak ingin cita-cita anak-anaknya pupus hanya karena tidak memiliki biaya. Itulah mungkin yang membuat beberapa kali beasiswa yang harusnya kudapatkan akhirnya dialihkan karena kami dianggap mampu. 

Bekerja sendiri menghidupi satiu istri, tiga anak dan menanggung orang tua, itulah Bapak. Ketika ada proyek Jalan Tol, gaji Bapak memang cukup untuk menghidupi kami, tapi ketika tidak ada proyek gaji Bapak menjadi tidak cukup. Meski pernah mengalami masa krisi moneter di saat aku masih duduk di bangku SD, tapi perusahaan Bapak masih bisa bangkit. Memang tak seperti dulu, banyak pengurangan karyawan dan hanya menerima tender jalan tol saja. Namun, Bapak masih bisa terus bekerja.

Ketika usia semakin senja, ijazah pendidikan Bapak yang hanya SMK membuat gaji Bapak juga tidak sebesar dengan lulusan sarjana yang semakin menjamur. Kebutuhan sehari-hari dan sekolah semakin tinggi. Ada si bungsu juga yang masih duduk di bangku SD. Ibu yang suka memasak mencari tambahan penghasilan dari hobinya. Menerima pesanan makanan dan kue untuk rapat dan arisan. Beliau juga menjadi kader KB kecamatan yang mendapatkan honor dari pendataan Bumil dan Balita. 

Perekonomian kami bisa dibilang cukup, meski tidak berlebih. Pertama kali Ibu mencoba usaha adalah rentcar mobil. Ketika itu, dia mencoba meminja di salah seorang wali murid, teman adik bungsuku. Mereka sering bersama menunggu anak-anak pulang sekolah, sehingga akrab. Namanya Indri. Sebenarnya, sejak pertama bertemu orang ini, aku sudah tidak suka. Etikanya kurang bagus. Terlalu terbuka dan sok. Namun, Ibu sepertinya tidak menyadari. Dari pertemanan menunggu anak-anak sekolah, dari sanalah perkenalan itu berlanjut ke pinjam meminjam uang. Ibu mulai berani beli mobil tua yang masih bisa disewakan. Ada sepupu Bapak yang biasa mengelola mobil sewaan.

Ibu juga mulai bekerja sebagai petugas kontrak untuk sebuah program pemerintah yang memberikan bantuan modal untuk UMKM. Kami yang mulai beranjak dewasa, membuat Ibu memiliki banyak waktu luang. Bapak memberikan izin karena Ibu mampu, dengan syarat tidak meninggalkan tanggung jawab pada anak-anak. Kata Ibu, gajinya lumayan. Aku sering diajak untuk membantu menyelesaikan pekerjaannya karena Ibu tidakterlalu mahir menggunakan komputer. Beliau berusaha membuka usaha untuk berjaga-jaga kalau Bapak berhenti proyek. Mobil tua yang disewakan dijual. kami menyewa toko di pinggir jalan milik sepupunya Bapak. Kami berencana membuka toko sparepart kendaraan bermotor dengan montir adik bungsu Bapak. 

Usaha itu berjalan lancar pada awalnya. Dengan modal secukupnya, kami berhasil membuka toko onderdil kecil-kecilan. Awalnya, Ibu yang menangani, tapi karena kesibukannya, akhirnyd diserahkan ke Paklik dan istrinya. Sejak itu, pembukuan toko jadi carut marut. Uang masuk tidak sesuai dengan barang yang keluar. Ada yang masih jadi utang, bahkan ada juga yang tidak terbayar. Entahlah. Ibu juga kurang jeli mengecek keuangan toko. Usaha kami pun berhenti. Uang tidak bisa diputar untuk stok barang lagi. Yang kami tidak tahu, ternyata Ibu meminjam uang untuk modal usaha dari rentenir. Dia tidak sadar, pertemanan dengan Indri membuatnya terjerumus makin dalam ke jurang sedikit demi sedikit.

Benar kata orang, pilihlah teman yang baik. Ibu salah berteman, dia berteman dengan seorang yang tidak baik. Suka mabuk dan merokok menjadi budayanya, meski katanya sudah taubat. Dia bertemu dengan suaminya di club malam. Keuangan keluarga kami semakin memburuk saat aku kuliah dan adik laki-lakiku kecelakaan. Dia harus mengalami dua kali operasi di Solo. Tentu uang yang dikeluarkan tidak sedikit. Orang tuaku harus meminjam kesana kemari untuk menutupi biaya rumah sakit swasta tempat adikku dirawat. Sampai aku tidak bisa membayar kuliah ketika itu.

Nasi sudah terlanjur menjadi bubur ketika kami tahu hutang Ibu sudah menumpuk. Nominalnya pun sangat fantastis karena bunga berbunga. Ibu terpukul. Terror dari Indri dan suaminya yang terus mengancam akan melukai keluarga kami, meracuni si bungsu dan bahkan meminta menjualku pada orang kaya. Datang membawa orang yang katanya menagih hutang lain ke Ibu, membawa paksa beberapa barang di rumah kami. Bapak dirongrong diminta semua gajinya sampai Bapak pun takut untuk pulang.

Semua sertifikat tanah yang kami punya disita, dibuat perjanjian pada notaris untuk dijual kalau kami tidak membayar. Dua tanah atas namaku dan Bapak berhasil, tapi satu sertifikat yang belum dipecah atas nama Mbah Kakung sulit untuk dieksekusi karena Mbah Kakung tidak mau tanda tangan apapun. Keadaan tidak kunjung membaik, malah kami dikucilkan dari keluarga dan tetangga hingga akhirnya memilih untuk merantau. Merantu ke tempat yang tenang dan berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun