Di tepi malam, sang peri berdiri menatap senja. Sedang di sebelahnya duduk lelaki Angin. “Liatlah, betapa indah cakrawala yang engkau susun. Surya senja di antara mega mega tipis yg tertata.” Kata sang peri Jelita. “Terima kasih atas keindahan yang engkau berikan...” Lelaki Angin tersenyum teduh dan menyahut,”Syukurlah jika itu bisa menumbuhkan senyum di kalbu. Maafkanlah bila ada senandungku yang mungkin memenuhi ruang dan waktumu, sehingga mencipta bosan dalam perasaan. Peri Jelita menoleh dan menghampiri..”Percayalah apa yang telah terucap. Biarkan semua berjalan pelan menuju keabadian. Awal mula aku merasa takut, karena ku tiada tau siapa engkau.” Perlahan Lelaki Angin menarik nafas dalam dalam. Menghembuskannya pada rimbun daun di tepi jalan. “Aku memang bukan siapa siapa. Hanya seorang angin tanpa mahkota raja. Sekedar berhembus untuk menentramkan para jiwa.”kata sang Lelaki Angin. “Lalu siapakah penentram jiwamu?” Tanya sang Peri “Ada sekuntum bunga yg lama layu..lama tiada tersirami.. dan memang ku tak mau menyiraminya..” “Kenapakah?” Sang Peri Jelita heran dan semakin mendekat menatap sang Lelaki Angin “Karena ketika bunga itu segar kembali, dia tentu ingin selalu tersirami. Sedang sang penyiram, adakah yg bisa bertahan dalam perjalanan masa?” Sang Lelaki Angin dengan nada tanya. “Lebih indah saat kita memberi daripada kita meminta..” Tambah sang Lelaki Angin. “Hmm....bagaimana jika ku yang menyiram?” tanya Peri lirih. Lelaki terdiam. Menatap lembut Peri Jelita seakan tiada percaya.” Sebenarnya, bunga itu sedikit telah tumbuh kembali saat ia mendengar suaramu. Tak ingin ku bercerita, khawatir tiada berkenan di dalam dada..” kata Lelaki lirih sedikit malu. “ Begitu rupanya....” Peri Jelita tersenyum. Sepi sesaat hadir. Membawa monolog pada masing jiwa. “Tapi kenapakah engkau bersedia wahai peri? “ tanya Lelaki Angin.. “Karena separuh nafasku telah engkau warnai dalam keindahan dan asa. Telah engkau selimuti jiwa ini dengan kehangatan musim semi..” sahut Peri Jelita. “Tapi aku meminta dengan sangat satu hal... terimalah aku apa adanya. Dengan segala kelebihan dan kekuranganku. Maka aku akan akan berusaha menjadi yg terbaik di sisimu. Menjaga jiwamu dalam kesegaran embun rasa.” Sang lelaki tersenyum,” tentu..demikian juga aku, jagalah bunga yg ada dgn apa yg ia punya.. warna indah juga warna buramnya. Dan ia akan berusaha tumbuh seindah mungkin dalam semerbak wangi tiada bertepi.” Senja perlahan meredup. Menutup warna surya. Malampun berganti menyelimuti bertabur bintang dan rembulan. Dalam bayang bulan yg tertambat di pucuk bukit. Tampak dua bayang, bergandeng tangan, terbang mengepakkan sayapnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI