Mohon tunggu...
Shabrina M Yamazhie
Shabrina M Yamazhie Mohon Tunggu... -

Jakaruta kokuritsu daigaku no nihongo gakka. shosetsuka ni naritai. shabrinamunaw.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perbincangan Singkat dengan Pengamen Jalanan

4 Mei 2013   22:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:06 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekitar pertengahan tahun 2012, aku sedang duduk di halte Rawasari menunggu bis 43 jurusan Priuk-Cililitan. Ketika itu aku sedang serius membaca novel, ada seorang pengamen membawa gitar. Seperti umumnya pengamen, dia berantakan, rambut kriting gondrong seperti tidak pernah dicuci setahun dan sepatu yang sudah minta diganti.

“Permisi Mbak.” katanya langsung duduk disebelahku.

“Oh iya Mas.” jawabku tanpa menoleh.

“Mau pulang mbak? Lagi nunggu 43?” tanyanya basa-basi.

“Iya nih Mas.” jawabku singkat.

“Kuliah di mana Mbak?”

“Di UNJ mas.” aku masih sibuk membaca novel.

“Jurusan apa mbak?” pertanyaannya kali ini membuatku menoleh kearahnya. Ternyata pengamen itu yang biasa aku lihat di metro mini.

“Bahasa Jepang, Mas.” jawabku tersenyum.

“Wah hebat yah Mbak ini. Saya juga punya temen tuh di UNJ anak seni rupa kebanyakan Mbak. Tapi udah lama gak ketemu sama mereka. Sekarang UNJ udah bagus yah, Mbak” katanya panjang lebar.

“Keren dong temennya anak seni rupa. Sama kaya mas semua tuh modelnya berantakan hehehe becanda Mas.” kataku sok asik.

“Hehehe bisa aja nih si Mbak.”

“Mas udah berapa lama ngamen?”

“Baru kok Mbak. Saya ngamen kalo lagi iseng aja Mbak.”

“Iseng gimana maksudnya? Emang kerjaan selain ngamen apa Mas?”

“Saya biasa ngelukis Mbak”

“Ngelukis? Pelukis maksudnya?” tanyaku terheran-heran.

“Iya mbak masa saya bohong. Mbak tau IKJ (Institut Kesenian Jakarta) kan? Saya lulusan sana, Mbak.”

Aku semakin kaget bahwa dia lulusan IKJ. Gak nyangka pengamen dekil begini ternyata sarjana, kataku dalam hati. “Yang bener Mas? Berarti Mas seniman dong?”

Orang-orang disekitar kami memperhatikan kami yang sedang asik mengobrol. Mungkin mereka pikir, aku orang yang bodoh, mau saja diajak ngobrol sama pengamen jalanan begitu.

“Ya gitu deh Mbak. Mbak suka seni gak?”

“Suka banget Mas. Dari kecil kalo ngeliat lukisan atau karya seni lainnya saya sering mikir, hebat yah yang buat ini dan saya gak memuji aja Mas, saya suka mengartikan maksud dari lukisan itu apa? dan pesan apa yang disampainkan dari si pelukis itu. Menurut saya semua seniman itu keren mas walaupun tampilan luarnya berantakan hehehe”

“Asik juga yah ngobrol sama Mbak ini. Saya kira Mbak judes abis tampangnya galak sih.” katanya cengar-cengir, “Kapan-kapan main dong Mbak ke IKJ. Nanti saya kenalin deh sama temen-temen saya yang pelukis”

“Wah boleh tuh. Insya Allah yah. Seni itu udah jadi kebutuhan manusia mas. Bahkan ketika kita memilih baju yang pas untuk dipakai, itu salah satu dari seni mas. Bener gak?”

“Bener Mbak saya setuju. Tapi banyak orang yang berpendapat seni itu sulit, ribet, berantakan seperti saya ini, Mbak.”

“Itu sih tergantung orangnya, Mas. Tapi saya malah suka liat seniman yang acak-acakan gak keurus. Itu baru ‘nyeni’ namanya. Kalo seniman rapi, bersih, wangi malah kesannya karyawan kantoran Mas hehehe.”

“Iya juga yah, Mbak. Oke deh sukses yah Mbak kuliahnya”

“Amin… sukses juga yah Mas sama profesinya dan jangan lama-lama ngamen Mas banyak debu nanti jerawatan loh! Hahaha.”

“Hahaha iya Mbak salam kenal yah.” katanya tersenyum.

“43 nya udah dateng tuh. Sampe ketemu lagi yah, Mas.” kataku sambil bersiap pergi.

Dari perbincangan singkat dengan seorang pengamen hari ini, aku mendapat banyak pelajaran darinya. Jangan menilai seseorang dari tampilan luarnya saja. Dengan berpakaian yang dekil, berantakan dan bertattoo belum tentu dia orang jahat. Dan orang yang terlihat rapi belum tentu dia orang baik. Bisa saja itu sebuah kamuflase untuk menutupi dirinya yang sebenarnya. Dan jangan sekali-kali memandang seseorang dari pekerjaannya. Sekalipun dia seorang pengemis tetapi kita harus menghormatinya dan kalau perlu sisi positif darinya bisa dijadikan pelajaran untuk hidup kita.

Semenjak perbincangan singkat itu, aku mulai merubah paradigma yang selama ini atau bahkan kebanyakan orang berpandangan yang sama. Bukankah semua manusia itu sama di hadapan Allah? Dan bukankah Allah menciptakan manusia menjadi kaya dan miskin, supaya mereka bisa saling berbagi satu sama lain? Yang membedakan yaitu manusia yang beriman dan manusia yang tidak beriman.

Mou ichido (sekali lagi). Machigaette shimaimashita. Hontouni sumimasen desu ne.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun