"Cindy, Ma. Pesawatnya jatuh."
Seolah berita itu menyumbat kerongkongan Lidya. Bukan karena kejadian yang menimpa Cindy. Tetapi lebih karena ternyata Ebel sempat menumpahkan perhatiannya kepada Cindy di saat anaknya sedang terbaring lemah. Ada kilasan rasa cemburu di hati Lidya.
"Andai Papa jadi berangkat, ..." kata Ebel terhenti.
Lidya sedikit terhibur dengan kata-kata itu. Rupanya Ebel menyesali, andaikan ia berangkat tentunya akan hancur bersama pesawat itu.
Sementara, penyesalan Ebel bukan semata karena ia telah menyalahkan Bibi dan justru terselamatkan dari bencana itu. Namun karena ia menyadari, bagaimanapun telah tertanam keinginan untuk berdekatan dengan Cindy. Hatinya sudah mengagumi Cindy, memuja Cindy, membandingkannya dengan Lidya. Ia ingin lebih dekat dengan Cindy, bahkan lebih dari itu. Akankah Ebel berterus terang kepada Lidya? Akankah ia juga minta maaf kepada Bibi? Apakah berarti ia sudah selingkuh, mengkhianati kesetiaan Lidya? Apakah ia akan membawa dusta ini ke kamar pengakuan?
Sambil mengusap putrinya dengan penuh kasih sayang, Ebel larut dalam permenungan. Ia ingat wa itu, "masih ada waktu untuk berjumpa. Namun andaikan tidak, mungkin itu yang terbaik". Â Oh, itu wa terakhirnya, dan tak ada lagi waktu untuk berjumpa. Inikah yang terbaik bagi Ebel, bagi Lidya, bagi putrinya, bagi Bibi, dan bagi Cindy?
Dialog antaragama, wa terakhir, Cindy, eksklusif, Â selingkuh , dusta, kamar pengakuan, .... merupakan pekerjaan rumah bagi Ebel dalam permenungan selanjutnya.
                  Jogjakarta, 1 Juli 2007