Mohon tunggu...
Safira Ruhama
Safira Ruhama Mohon Tunggu... Lainnya - Aku Bukan Siapa-siapa, hanya musafir yang mencari RidhoNya

"Berbungalah dimanapun kamu ditanam"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dikotomi Sains Dalam Islam dan Islamisasi Sains

7 Juli 2020   13:12 Diperbarui: 7 Juli 2020   13:11 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dikotomi ilmu pengetahuan mempunyai peran penting dalam dualisme pendidikan. Mulai zaman kemunduran Islam hingga sekarang, dikotomi ilmu pengetahuan selalu diperdebatkan. Padahal apabila dikaji lebih lanjut bagaimana Islam memandang ilmu pengetahuan, maka akan di temukan dalam Al-Qur'an banyak ayat yang menjelaskan tentang sains, dan mengajak umat Islam untuk mempelajarinya. Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur'an adalah sumber ilmu pengetahuan. Al-Qur'an diturunkan bagi manusia sebagai pedoman dan petunjuk dalam menganalisis setiap kejadian di alam ini yang merupakan inspirasi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Artinya, Islam mengembalikan kepada fitrah manusia tentang mencari ilmu pengetahuan.

Al-Qur'an juga menekankan agar umat Islam mencari ilmu pengetahuan dengan meneliti alam semesta ini, dan bagi orang yang menuntut ilmu ditinggikan derajatnya disisi Allah, bahkan tidak sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui. Sebagaimana firman Allah SWT :


Artinya : Allah akan meninggikan orang- orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.S. Al-mujadalah:11)


Artinya : Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui (Q.S.Az-Zumar : 9)


Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa Islam tidak pernah menganggap adanya dikotomi ilmu pengetahuan dan agama. Ilmu pengetahuan dan agama merupakan satu totalitas yang intregal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.


Sebuah artikulasi terbaik mengenai epistemologi ilmu pengetahuan yang diperolehnya dalam kitab pengetahuan karya Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1058-1111). Al-Ghazaliadalah seorang guru besar akademi Nizamiyyah Baghdad. Al-Ghazali menganalis pengetahuan berdasarkan tiga kriteria:

1) Sumber :
- Pengetahuan yang tidak diwahyukan: Sumber pokok dari ilmu-ilmu ini adalah akal, pengamatan, dan akulturasi (penyesuaian).
- Pengetahuan yang diwahyukan: Pengetahuan ini diperoleh oleh para Nabi dan Rasul.


2) Kewajiban-Kewajiban :
- Pengetahuan yang diwajibkan kepada setiap masyarakat (Fardhu kifayah): yaitu pengetahuan yang penting sekali untuk keselamatan seluruh masyarakat, misalnya pertanian, obat-obatan, arsitektur, dan teknik mesin.
- Pengetahuan yang diwajibkan kepada setiap orang(fardhu' ain): yaitu pengetahuan yang penting sekali untuk keselamatanseseorang, misalnya etikasosial, kesusilaan, dan hukum sipil.


3) Fungsi Sosial
- Ilmu-ilmu yang patut dikutuk: termasuk astrologi, magic, dan berbagai ilmu perang, teknik genetika, terapi aversi, dan studi ilmiah mengenai penyiksaan.
- Ilmu-ilmu yang patut dihargai: yaitu ilmu-ilmu(sains) yang berguna dan tidak boleh diabaikan "karena segala aktifitas hidup ini tergantung kepadanya"Dilihat dari kerangka keilmuan diatas dapat kita pahami bahwa antara agama dan sains tidak berdiri sebagai dua kultur yang saling terpisah, tetapi sebagai dua pilar yang memperolehrasa solidaritasnya yang vital dari keseluruhan kultur manusia. Jadi dalam kerangka ini, pengetahuan dapat bersifat dinamis dan statis. Terdapat perkembangan setahap demi setahap dalam bentuk-bentuk ilmu pengetahuan (sains) tertentu, sementara terdapat pula kesadaran akan keabadian pengetahuan prinsipil yang diperoleh dari wahyu.

Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam itu pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan sehingga menjadi mercusuar baik di Barat maupun di Timur. Pada abad pertengahan, telah bermunculan para saintis dan filsuf kaliber dunia di berbagai lapangan keilmuan. Dan bidang fikih terdapt Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Hambali, Imam Abu hanifah, dalam bidang filsafat muncul Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina, sedang dalam bidang sains muncul Ibnu Hayyan, al-Khawarizmi dan Ar-Razi (Harun Nasution, 1975:13).


Bahkan Para filsuf dan saintis muslim tersebut tidak pernah memisahkan ilmu pengetahuan dengan agama. Meeka meyakini ilmu pengetahuan dan agama sebagai satu totalitas dan intregalitas Islam yang tidak dapat dipiahkan satu dengan yang lainnya. Namun, kenyataan yang terlihat sekarang, para ilmuwan cenderung membedakan antara kedua ilmu tersebut dengan banyaknya istilah yang mereka gunakan dalam berbagai literatur.


Secara teoretis makna dikotomi adalah pemisah secara teliti dan jelas dari suatu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukkan ke dalam satunya lagi dan sebaliknya. Adanya dikotomi keilmuan ini akan berimplikasi pada dikotomi model penidikan. Di satu pihak ada pendidikan yang hanya memperdalam ilu pengetahuan modern yang kering dari nilai-nilai keagamaan, dan di sisi lain ada pendidikan yang hanya memperdalam masalah agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan. dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa makna dikotomi adalah pemisah suatu ilmu menjadi dua bagian yang satu sama lainnya saling memberikan arah dan makna yang berbeda dan tidak ada titik temu antara kedua jenis ilmu tersebut.

Padahal apabila dilihat dari kacamata Islam, jelas sangat jauh berbeda sangat jauh berbeda dengan konsep Islam tentang ilmu pengetahuan itu sendiri, karena dalam Islam ilmu dipandang secara utuh dan universal tidak ada istilah pemisah atau dikotomi. Sesungguhnya Allah lah yang menciptakan akal bagi manusia untuk mengkaji dan menganalisis apa yang ada dalam alam ini sebegai pelajaran dan bimbingan bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya di dunia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 190:
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

Apabila kita lihat saat ini, para ilmuwan cenderung memisahkan (dikotomi) antara ilmu agama dengan ilmu keduniaan, Praktik dualisme pendidikan tersebut sebenarnya disebabkan oleh kemunduran umat Islam dalam segala bidang, seiring dengan kemajuan Barat (Eropa) yang menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan dan berusaha menguak misteri alam dengan menakhlukkan lautan dan daratan.


Sebagaimana diungkap Ismail Raji Al-Faruqi bahwa zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa yang terbawah (Fachri Ali Bahtiar Effendy,1986:28) Disamping itu Al-Faruqi juga mengatakan ilmu itu tidak bebas nilai, tetapi syarat dengan nilai. Yang perlu di Islamkan itu bukan orang tetapi ilmunya, supaya orang yang belajar ilmu pengetahuan bisa terpola langsung pemikiran dan tingkah lakunya. Untuk mengislamkan ilmu pengetahuan, jalan yang harus diperhatikan adalah :

1) jadikan Al-Quran dan sunnah sebagai landasan dalam berpikir
 2) lakukan pencarian terhadap ilmu-ilmu modern
 3) lakukan pendekatan filsafat dalam ilmu pengetahuan itu.


Sedangkan dalam keadaan ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai suatu yang mengagumkan, hal yang menyebabkan kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan weternisasi, dan ternyata weternisasi telah menjauhkan umat Islam dari ajaran Al-Qur'an dan Hadist. Sesungguhnya sangat dilematis ketika ingin maju meniru budaya Barat yang telah jauh berkembang, tetapi kita malah menjadi hancur karena tidak mampu menfilter apa yang kita dapat bahkan kita malah menelan mentah-mentah padahal itu semua membawa kita kepada kehancuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun