Mohon tunggu...
Patrix W
Patrix W Mohon Tunggu... Penulis - just an ordinary man

If God is for us who can be against us? (Rome 8:31)

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Hukum Pertama: Jangan Melampaui Atasanmu

25 Oktober 2021   10:17 Diperbarui: 28 Oktober 2021   15:00 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rekan kerja. (sumber: Thinkstockphotos via kompas.com)

Setiap manusia tentu dibekali dengan intelegensi, bakat, talenta, ataupun kelebihan yang belum tentu dimiliki oleh orang lain. 

Bila kita mampu mengaktualisasi semua potensi itu secara optimal, maka tentu akan mendatangkan kebaikan bagi diri sendiri, orang lain, masyarakat, atau bagi organisasi di mana kita bekerja. Itu teorinya. Setidaknya, begitu kata banyak orang.

Dalam dunia kerja, ternyata idealisme tersebut tidak berlaku. Kepintaran dan kecakapan, bakat dan talenta, integritas dan profesionalisme yang baik ternyata bisa menjadi ancaman. 

Alih-alih mendatangkan kebaikan, hal-hal positif tersebut malah bisa menghancurkan cita-cita, karir, dan kehidupan kita sendiri. Kelebihan yang kita anggap dapat menjadi sumbangan bagi orang lain dan organisasi, ternyata dapat dipandang sebagai ancaman oleh pihak lain. Dalam hal ini oleh atasan kita.

"Never outshine the master", demikian bunyi hukum pertama dari  "48 Laws of Power" yang ditelurkan oleh Robert Greene.

Apa yang diungkapkan Greene ini tentu bukan lahir dari imajinasi pribadinya, tetapi merupakan hasil kontemplasi terhadap fakta sejarah dan sifat dasar/watak manusia pada umumnya. 

Saya tidak hendak memaparkan fakta sejarah tersebut dalam tulisan ini, karena akan panjang nantinya. Cukuplah kita mengkaji sifat dasar/watak manusia, yang tentunya juga melandasi terjadinya fakta sejarah.

Sifat dasar yang dimaksudkan di sini adalah perasaan tidak nyaman (insecurity). Setiap manusia pasti memiliki rasa tidak nyaman dalam dirinya sendiri.

Ketidaknyamanan itu bisa berkaitan dengan kondisi kita saat ini yang tidak memuaskan, atau juga sebagai bentuk kewaspadaan untuk mempertahankan kondisi saat ini yang terasa (cukup) memuaskan. 

Ketika sebagai bawahan, kita memunculkan prestasi, menampilkan talenta atau bakat kita, maka secara tidak sadar hal itu sebenarnya akan memicu lahirnya perasaan tidak nyaman dalam diri atasan. Itu reaksi alamiah dan spontan. Konsekuensi selanjutnya tentu tidak akan menguntungkan sebagai bawahan.

Mungkin kita berpikir bahwa kita tidak perlu menghiraukan bagaimana perasaan orang lain terhadap kita. 

Toh kita tidak bisa mengatur perasaan orang lain dan kita juga tidak bisa menyenangkan semua orang. Kita juga tidak boleh terpenjara dalam rasa takut dan curiga berlebihan yang justru akan mematikan berbagai potensi dan kelebihan diri kita.

Idealnya memang seperti itu. Tapi dunia nyata kadang tidak seindah dunia ide. Dunia nyata hanyalah cukup menjadi mimesis tidak sempurna dari dunia ide sebagaimana yang dikatakan Plato.

Apalagi dalam dunia kerja. Kuburlah ekspektasi dan idealisme tersebut dalam-dalam kalau yang diinginkan adalah karir yang menanjak, demikian kata Greene.

Setiap pemimpin (atasan), jelasnya, selalu menghendaki rasa aman. Ia tidak akan ingin ada bawahannya yang lebih berprestasi, lebih pintar/cakap, atau lebih berkharisma dari dirinya. 

Jangan cepat-cepat beranggapan bahwa dengan menunjukkan kelebihan-kelebihan tersebut, maka kita akan memenangkan hati atasan kita. Ia mungkin akan memberi pujian di hadapan banyak orang. 

Namun begitu ada kesempatan, ia akan menggantikan kita dengan orang lain yang kurang pandai, kurang menarik, kurang mengancam. Sekali lagi, ini reaksi alamiah yang mungkin pemimpin itu sendiri tidak menyadarinya.

Ada dua aturan dasar yang mesti kita patuhi sebagai bawahan menurut Greene. Pertama, jangan terlalu jujur menampilkan dirimu apa adanya sehingga bakat, kemampuan, dan kelebihan diri akan terpancar dengan sendirinya dan melampaui pemimpin kita. 

Singkatnya, kita juga perlu menyembunyikan kelebihan-kelebihan kita. Bahkan ada baiknya kita berpura-pura tidak tahu, kurang berpengalaman, atau bahkan tampil bodoh di hadapannya. Dengan itu, kita tidak akan dilihatnya sebagai ancaman yang dapat mengganggu rasa amannya.

Kedua, jangan pernah berimajinasi bahwa karena pemimpin kita menyukaimu maka engkau bebas untuk berbuat apa saja. 

Ketahuilah batas-batas kita yang tidak boleh dilakukan karena dapat mengganggu rasa nyaman pemimpin kita. Sebab bila itu terjadi, maka rasa suka akan dengan mudah berbalik total menjadi rasa tidak suka.

Dengan memahami hukum pertama untuk tidak melampaui atasan kita, maka sesungguhnya kita juga dapat memanfaatkannya menjadi keuntungan bagi kita. 

Beberapa hal praktis yang bisa kita lakukan antara lain: pertama, berusaha selalu memuji dan mengangkat kelebihan atasan kita. Pujian yang terlalu kentara bisa jadi efektif, tapi hanya dalam waktu singkat dan bagi sebagian orang saja. 

Pujian yang tersembunyi akan jauh lebih efektif. Buatlah agar ia selalu merasa lebih pintar darimu, dan bahwa kamu selalu membutuhkan keahliannya. 

Bahkan terkadang secara sengaja kita perlu membuat kesalahan-kesalahan kecil sehingga memberinya kesempatan untuk mengoreksi kesalahan kita itu.

Kedua, jika pemikiran atau ide kita lebih bagus atau kreatif darinya, maka sebisanya gambarkan di depan umum bahwa itu merupakan ide atau pemikirannya. 

Perjelas bahwa ide yang engkau ungkapkan itu merupakan gema dari idenya. Masih ada nasihat praktis lainnya yang dijelaskan Greene  terkait relasi pemimpin-bawahan ini yang dapat memberikan manfaat praktis di dunia kerja.

Menurut saya, apa yang disampaikan Greene memang terasa mind blowing, sebab jauh dari anggapan umum selama ini. 

Kalau bisa saya katakan bahwa pendekatan pragmatis Greene ini, meminjam istilah Thomas Kuhn, merupakan sesuatu  yang revolusioner. Ia menghancurkan fondasi dan tatanan kebenaran yang selaama ini diterima begitu saja dalam dunia kerja. 

Ia seperti membangunkan kita dari tidur idealisme dan mempertontonkan secara terang-benderang dunia riil yang terjadi. Sama seperti Machievelli dalam Il Principe, Greene sepertinya mengabaikan pelajaran etika tentang yang baik, yang mesti dilakukan, dan yang tidak baik, yang mesti dihindari.

Kita boleh saja tidak setuju dengan pandangan Greene. Bahwa pandangannya ini dapat mengancam kebaikan bagi keberlangsungan dan pertumbuhan suatu organisasi. 

Namun, kalau boleh sedikit jujur, mesti saya akui bahwa apa yang disampaikannya itu banyak sisi benarnya. 

Apalagi maksud Greene bukan hendak mengajarkan kita menjadi orang suci, tetapi agar bagaimana kita bisa bertahan dalam kerasnya dunia kerja yang penuh kompetisi itu. Selanjutnya, terserah Anda!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun