Elephas maximus sumatranus, satwa endemik Pulau Sumatera
Tahukah kamu bahwa Indonesia merupakan negara mega-biodiversitas di dunia?.
Indonesia menempati peringkat kedua setelah Brasil sebagai negara yang memiliki keragaman spesies melimpah dengan satwa endemik yang beragam. Sumatera merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki tingkat keragaman spesies tinggi. Sejak beberapa waktu lalu hingga detik ini, terdapat satwa endemik Pulau Sumatera yang ramai menjadi perbincangan di berbagai platform sosial media, yaitu Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus).
Salah satu anak gajah Bernama Nisa di Kawasan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) sukses mencuri perhatian publik karena tingkahnya yang lucu, menggemaskan, dan penuh energi. Banyak sekali video yang membuat heboh dunia maya terkait aktivitas Nisa saat sedang usil, berguling-guling, bermain air, dan berlari menghampiri pengunjung dengan ceria. Tak heran, jutaan netizen Indonesia sangat terhibur dan berharap bisa berjumpa secara langsung.
Realita dibalik layar: Kisah Pahit Sang Raksasa Rimba
Dibalik tawa yang Nisa hadirkan, pernahkan terbesit di fikiran bahwa terdapat fakta pahit dan perjuangan hidup yang berat bagi kerabatnya di alam liar?.
Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) Gajah Sumatera masuk kedalam kategori Critically Endangered yaitu status konservasinya sangat terancam punah dengan jumlah populasi sebanyak 924 – 1.359 individu (Green Work Asia, 2024). Selain itu, Gajah Sumatera dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) memperoleh perlindungan hukum tertinggi, yaitu masuk ke dalam kategori appendix I (berada di ambang kepunahan). Kategori ini mengartikan bahwa perburuan dan perdagangan Gajah Sumatera untuk tujuan komersial merupakan tindakan ilegal dan dilarang keras karena melanggar hukum internasional.
Di sisi lain, bagian tubuh gajah (gading) bernilai ekonomis sangat tinggi, sehingga berakibat pada maraknya perburuan dan perdagangan ilegal. Meskipun perdagangan internasional telah melarang keras pemburuan dan perjualbelian Gajah Sumatera, tidak mampu menghentikan pemburu liar yang tergiur harga fantastis di pasar gelap.
Penemuan dua ekor Gajah Sumatera yang mati secara tragis akibat disetrum, diracun, dan dipenggal di Aceh dan Riau tahun 2019 menunjukkan kekejaman ekstrem oknum pemburu liar (Sutanto & Zuhra, 2023). Tragedi ancaman kepunahan ini tentunya dipicu oleh permintaan pasar yang tinggi akan ketersediaan gading. Fakta bahwa Pulau Sumatera merupakan “jalur sutra” perdagangan ilegal satwa liar berperan sebagai rantai distribusi gading gajah hingga ke kota-kota besar. Kasus perdagangan ilegal di Jawa Barat dan Jakarta selatan, menunjukkan pendistribusian gading yang telah diolah menjadi pipa rokok, ukiran, dan gelang (Kompas.com, 2025). Kurangnya kesadaran publik menjadi faktor utama yang mempercepat ancaman kepunahan Gajah Sumatera.
Selain perburuan, krisis habitat yang disebabkan oleh peningkatan kebutuhan manusia akan sumber daya alam memicu terjadinya konflik antara Gajah Sumatera dengan manusia. Hutan yang ada dialih fungsikan menjadi pemukiman, perkebunan, dan area industri. Perubahan ini tentunya menyebabkan habitat Gajah Sumatera semakin terbatas dan memutus jalur jelajahnya. Gajah memasuki area pemukiman warga dan merusak perkebunan, menyebabkan kerugian ekonomi, hingga berimbas pada kematian gajah maupun manusia.
Kalau sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?.
Masyarakat tentu berfikir gajahlah yang mengancam kesejahteraan mereka, namun jika kembali kita telusuri bukankah manusia yang mengambil alih habitat alami gajah?. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa gajah memiliki daya ingat yang tinggi dan hanya mengikuti jalur jelajah historis yang selalu digunakan untuk bermigrasi mencari sumber air dan makanan dari tahun ke tahun.