Beberapa waktu terakhir, saya merasa hidup seperti berlari tanpa henti. Bangun pagi sudah disambut notifikasi pekerjaan, deadline menunggu di depan laptop, lalu malam hari masih harus memikirkan rencana esok. Lama-lama, saya sadar tubuh saya mungkin masih berjalan, tapi hati dan pikiran saya terasa lelah.
Awalnya saya pikir: "Mungkin saya hanya kurang tidur." Tapi ternyata, lebih dalam dari itu. Saya sedang butuh istirahat bukan hanya untuk badan, melainkan juga untuk pikiran. Saat itulah saya mulai belajar tentang satu hal penting: kesehatan mental.
Mengapa Saya Mulai Memperhatikan Kesehatan Mental?
Dulu, saya sering menyepelekan perasaan sendiri. Kalau sedih, saya paksa untuk tetap tersenyum. Kalau capek, saya bilang pada diri sendiri "ah, cuma kurang semangat aja." Tapi ternyata, menumpuk semua rasa itu justru membuat saya semakin rapuh.
Ada satu titik di mana saya mudah sekali marah, cepat tersinggung, dan mulai menarik diri dari teman-teman. Dari situ saya paham, ini bukan sekadar "mood swing". Ini adalah tanda kalau mental saya sedang butuh perhatian.
Menemukan "Me Time" di Tengah Kesibukan
Hal pertama yang saya lakukan adalah belajar memberi waktu untuk diri sendiri. Rasanya sederhana sekali: membaca buku kesukaan, menonton film komedi, atau sekadar jalan santai sore hari sambil mendengarkan lagu. Ternyata, hal-hal kecil itu cukup untuk membuat hati jadi lebih tenang.
Dulu saya merasa bersalah kalau mengambil waktu untuk diri sendiri. Saya pikir itu egois. Tapi sekarang saya sadar, merawat diri bukanlah bentuk egoisme---melainkan cara agar saya tetap bisa hadir untuk orang lain dengan lebih sehat, lahir maupun batin.
Belajar untuk Bicara
Saya juga menemukan bahwa berbagi cerita itu penting. Ada masa ketika saya terbiasa menyimpan semua masalah sendiri, berharap bisa kuat tanpa bantuan siapa pun. Nyatanya, semakin dipendam justru semakin berat.
Suatu hari, saya memberanikan diri bercerita pada teman dekat. Saya kira dia akan menghakimi atau menertawakan, tapi ternyata tidak. Ia hanya mendengarkan dengan sabar, sesekali memberi pelukan hangat, dan berkata: "Kamu nggak sendiri." Saat itu saya sadar, tidak semua masalah butuh jawaban, kadang cukup butuh telinga yang mau mendengar.