Mohon tunggu...
Setyo Winarko
Setyo Winarko Mohon Tunggu... -

create creative creation.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Prabowo yang Jelek atau Jokowi yang "Elek"?

5 Mei 2014   21:01 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:50 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Judul yang sangat provokatif bukan ?

Saya jengah dengan postingan, link dan comment-comment di media sosial yang seakan berlomba menunjukkan kejelekan para kandidat capres atau cawapres. Terusik karena seringkali postingan tersebut muncul dari kawan2 sendiri yang saya kenal baik sebagai orang yang cukup cerdas dan (pernah) berprofesi sebagai jurnalis, yang semestinya masih kental dengan objektifitas sebagai etika utamanya.

Kita (mengaku) sering terusik dengan kelakuan para oknum politik yang sering melakukan black campaign saat kampanye legislatif lalu. Namun kini, melalui akun-akun pribadi kita, pertandingan unjuk kejelekan tersebut tak urung mengubah kita sendiri sebagai pelaku black campaign pula.

Seringkali kawan-kawan saya mem-post n share link2 bernada negatif mengenai kejelekan Prabowo, kebohongan Jokowi, ketidakpedulian Ical, dll, yang terkadang hanya bersumber dari blog pribadi ataupun menebeng nama besar kompasiana ini, yang tak lain juga berupa opini pribadi tanpa seleksi redaksi.

Mungkin kita memang sekedar menyampaikan opini di tengah era kebebasan berpikir di negeri ini, namun saat opini tersebut dipublikasikan melalui ranah media, tidakkah kita melakukan filtering melalui kajian yang paling sederhana sekalipun, dengan validasi sumber data dan fakta, untuk menghindari miskonsepsi dan miskomunikasi yang hanya akan menimbulkan provokasi ? Ingat, yang membaca tulisan kita mungkin tidak secerdas atau sekritis anda, yang terkadang mereka hanya menelan bulat-bulat tafsir dan pernyataan kita, sehingga menimbulkan gelombang reaksi yang tak beralasan.

Kenapa sisi negatif dan pembunuhan karakter seseorang selalu dijadikan cara untuk mengejar kemenangan sepihak ? Sudah sedemikian burukkah tokoh-tokoh negeri kita sehingga tak ada hal positif yang bisa lebih dikedepankan ? Atau jangan-jangan survey-survey elektabilitas itu ditangkap masyarakat sebagai pengukur tingkat ke-elek-an (kejelekan) para calon kandidat ?

Jokowi blusukan dan menerobos kebakaran pasar Senen, dianggap pencitraan. ARB belum sowan ke partai lain untuk cari kawan, dianggap arogan. Prabowo menandatangani tuntutan buruh di GBK Senayan, dianggap komitmen yang berlebihan. So what ? Tidak bolehkah mereka berstrategi untuk meraih dukungan ? Bukankah gencarnya iklan televisi Prabowo juga bagian dari pencitraan ? Bukankah janji ARB untuk pendidikan gratis hingga SMA juga bisa dianggap berlebihan ? Bukankah langkah Jokowi meninggalkan kursi Gubernur DKI juga bisa dikategorikan arogan karena adanya berbagai dukungan ?

Bisa jadi latar belakang kehidupan merekalah yang turut berperan menjadikan mereka sebagai karakter-karakter unik. Sedikit banyak saya pernah mencoba membayangkan menjadi seperti mereka, saat berkesempatan berkunjung atau sekedar lewat di depan rumah kediaman para capres tersebut.

Dari area rumah tinggal Prabowo di puncak bukit Bojongkoneng – Sentul, saya bisa merasakan bagaimana sudut pandang seorang pemimpin dalam melihat kondisi yang terjadi dibawahnya. Jarak pandang yang luas, membuat kita bisa melihat kota-kota di kejauhan dan aktifitas warga di lereng bawah. Tak heran seorang Prabowo memang terlatih untuk menjadi seorang pemimpin (baca: Jenderal), yang bisa memetakan strategi yang tepat untuk situasi dan kondisi yang tengah terjadi di wilayahnya.

Bila kita bertandang ke rumah tinggal Jokowi di Solo yang berada di tengah perkampungan, kita juga akan mengerti kenapa Jokowi bisa sangat mudah berbaur dengan rakyat kecil, dan agak canggung ketika dihadapkan pada protokoler pemerintahan.

Bila kita beruntung untuk dijamu ARB di rumahnya di kawasan Menteng, kita juga jadi mahfum dan maklum kenapa beliau lebih suka di”datangi” daripada men”datangi”, dan kenapa beliau lebih fasih dalam urusan birokrasi serta diplomasi bersama para pejabat dan pengusaha tingkat tinggi.

Jadi tak heran bila yang satu merakyat dan ingin belajar memimpin, yang satu adalah pemimpin yang sedang belajar merakyat, dan yang satu lagi pemimpin kesejahteraan rakyat (baca: mantan menkokesra) yang sedang berusaha menyejahterakan rakyatnya agar sejahtera sepertinya. Jadi, apa salahnya ?

Maka mari kita beri mereka kesempatan, apakah Jokowi bisa memimpin dengan baik, ataukah Prabowo yang bisa merakyat dengan bajik, ataukah ARB yang bisa memberi solusi secara cerdik.

Semua manusia ada sisi positif dan negatifnya. Semua memiliki Yin dan Yang-nya. Dan bila kita ingin sebuah negara yang baik, mari biasakan diri pula untuk menonjolkan kebaikan, untuk mengurangi keburukan, bukan menggemborkan kejelekan untuk saling menjatuhkan sehingga meruntuhkan potensi para calon pimpinan.

Bukan berarti kita menutupi kekurangan dan kelemahan mereka, namun sajikan secara berimbang, dan biar publik yang menilai sesuai dengan kemampuan kritis-analitis mereka masing-masing, bukan hasil judgement sepihak untuk menggiring mereka yang masih labil dan terpencil. Dan bila nanti muncul calon kandidat berpotensi lainnya, kita sambut mereka sebagai peluang, bukan ancaman.

Impian saya, obrolan di warkop sebelah sudah tidak lagi berkutat seputar keburukan calon A dibandingkan kejelekan calon B, sehingga timbul saling debat dan hujat; namun optimisme mengenai keunggulan calon A dibandingkan prestasi calon B, yang membuat diskusi mereka hangat, bersahabat, dan bermartabat.

Salam semangat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun