Mohon tunggu...
Seto Wicaksono
Seto Wicaksono Mohon Tunggu... Human Resources - Recruiter

Menulis, katarsis. | Bisa disapa melalui akun Twitter dan Instagram @setowicaksono.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Eksistensi Kue Putu Bambu yang Kian Meredup

6 Juni 2020   08:30 Diperbarui: 9 Juni 2020   19:17 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pejual kue putu. (Foto: Kompas.com/Labib Zamani)

Salah satu kekayaan yang dimiliki Indonesia adalah keanekaragaman dalam kuliner. Baik yang modern, maupun kuliner tradisional, yang sudah menjadi santapan khalayak sejak dahulu.

Kuliner tradisional yang beberapa di antaranya sering disebut sebagai jajanan pasar, sangat mudah ditemui di pasar tradisional. Meski tidak bisa dimungkiri, saat ini mulai jajaanan pasar mulai langka.

Usut punya usut, ada beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut bisa sampai terjadi.

Pertama, mulai sepi peminat. Sehingga penjualan pun tersendat. Para produsen bisa sampai berpikir beberapa kali untuk memproduksi secara massal. Pada akhirnya, lebih memilih berjualan secara pre-order. Tergantung pesanan.

Kedua, kalah saing dengan camilan modern. Hal ini sudah jelas terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pemasaran camilan modern lebih mutakhir karena didukung oleh platform jualan yang tak kalah moder dengan mengandalkan internet. Berjualan secara online.

Selain itu, proses pemasaran berlangsung secara berantai, mengandalkan cerita dari satu mulut ke mulut yang lain.

Ketiga, jajanan pasar dianggap jadul, kurang kekinian, dan rasa dianggap begitu-begitu saja. Padahal jika dibandingkan dengan camilan kekinian, soal rasa ya akan sama, begitu-begitu saja. Apalagi camilan zaman kiwari kebanyakan hanya mengandalkan serbuk monosodium glutaman dengan banyak varian rasanya.

Salah satu jajanan pasar yang kini mulai sulit ditemui adalah kue putu bambu. Jika belum ada yang mengenali rupanya, akan saya beri sedikit gambaran.

Bentuknya terbilang kecil dan lonjong, menyerupai tabung, dengan panjang sekira 3-4 cm. Dicetak menggunakan potongan bambu berdiameter sekira 2-3 cm. Ada juga penjual yang cetakannya menggunakan pipa plastik (tentu ini tidak disarankan karena berpotensi membahayakan kesehatan).

Biasanya berwarna hijau atau putih. Berbahan dasar tepung beras. Di tengahnya, ada gula merah yang mencair ketika digigit. Biasa disajikan dengan parutan kelapa. Teksturnya terbilang lembut dan mudah hancur.

Pada proses penjualannya, biasanya abang kue putu bambu juga sekalian menjual klepon, kue serupa putu bambu. Hanya saja teksturnya sedikit lebih kenyal ketika dikunyah.

Dengan isi dan cara penyajian identik. Gula merah yang "pecah" saat digigit, disajikan dengan taburan kelapa. Harganya pun kurang lebih sama, sekitar Rp1.000/pcs.

Kue putu bambu sempat menemani waktu senggang saya pada sore menjelang malam. Maklum, pedagang putu bambu memang sering berjualan pada waktu tersebut. Dari menjelang maghrib hingga dini hari. Tanda kedatangan putu bambu juga terbilang khas sekaligus dikenal khalayak.

Pada box alumunium yang dipanggul biasanya ada cerobong asap kecil dari pipa, yang kemudian mengeluarkan bunyi, "Tuuuuuut..." dan perlu digarisbawahi, sependek ingatan saya, tidak ada tukang jualan lain yang memiliki tanda serupa pada gerobak dorong atau gerobak panggulnya.

Hal itu yang menjadikan kue putu bambu memiliki ciri khas yang diciptakan oleh para penjualnya.

Kue putu bambu menjadi salah satu camilan tradisional atau jajanan pasar yang kini mulai jarang terlihat peredarannya di pasaran.

Kurang lebih alasannya sama dengan jajanan pasar lain yang kini sulit didapat. Sepi peminat, dianggap jadul dan kurang menarik, serta kalah saing dari sisi pemasaran. Saya pernah memastikan hal tersebut kepada salah seorang penjual putu bambu ketika saya sedang membeli.

"Sekarang yang jual putu bambu di sekitar sini udah sepi, Mas. Saya juga cuma jualan sama beberapa temen aja di sini. Kelilingnya nggak tentu ke mana. Soalnya sekarang udah jarang juga yang beli putu bambu."

Padahal, sekitar 15 tahun yang lalu, penjual putu bambu masih sering lewat di beberapa perumahan atau menyusuri jalanan di pedesaan saban hari, khususnya di tempat saya tinggal.

Sekarang, penjual putu bambu sudah jarang saya lihat. Lewat di depan rumah sebulan sekali saja belum tentu. Rasanya, saya mulai rindu mendengar suara khas yang ditimbulkan dari tabung pipa gerobak panggul putu bambu sekaligus memakan salah satu camilan tradisional tersebut.

Meski sudah semakin sulit didapat dan semakin minim peredarannya, saya memiliki harapan, semoga kue putu bambu bisa bertahan diantara banyaknya camilan modern yang bermunculan. Termasuk juga para penjualnya. Panjang umur, kue putu bambu beserta camilan tradisional lainnya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun