Pendahuluan
Di tengah derasnya arus informasi digital, publik Indonesia kembali diguncang oleh isu kontroversial: dugaan ijazah palsu Presiden Ke-7. Meski pihak universitas, otoritas negara, dan bahkan mantan Presiden sendiri telah memberikan klarifikasi, sebagian masyarakat masih meragukan keasliannya. Mengapa demikian? Di sinilah psikologi memberi penjelasan—tentang bagaimana manusia membentuk persepsi, merespon informasi ambigu, dan percaya pada narasi konspiratif.
Kognisi Sosial : Saat Persepsi Lebih Kuat dari Bukti
Dalam psikologi kognitif, manusia dikenal sebagai information processors yang tidak selalu rasional. Ketika dihadapkan pada informasi kompleks atau membingungkan seperti isu ijazah palsu, otak mencari jalan pintas kognitif atau heuristik. Salah satunya adalah confirmation bias—yakni kecenderungan untuk menerima informasi yang mendukung keyakinan kita, dan menolak yang bertentangan.
Echo Chamber & Filter Bubble : Media Sosial dan Polarisasi Kebenaran
Media sosial memperparah fragmentasi kebenaran. Di dunia maya, kita cenderung hanya terpapar informasi dari orang-orang yang sependapat. Ini disebut echo chamber—fenomena di mana opini kita terus diperkuat tanpa tantangan dari perspektif berbeda. Algoritma media sosial pun memperkuat ini melalui filter bubble, yang secara otomatis menyaring informasi berdasarkan preferensi pengguna.
Teori Konspirasi dan Psikologi Ketidakpastian
Menurut psikologi sosial, orang lebih rentan mempercayai teori konspirasi ketika mereka merasa tidak memiliki kendali, cemas, atau hidup dalam ketidakpastian. Isu ijazah palsu bukan hanya soal dokumen akademik, tapi simbol dari sesuatu yang lebih besar—ketidakpercayaan terhadap sistem, ketakutan terhadap manipulasi elite, dan kekhawatiran bahwa demokrasi sedang diselewengkan.
Emosi, Viralitas, dan Distorsi Kebenaran
Psikologi juga mencatat bahwa emosi sangat berperan dalam penyebaran informasi. Konten yang menimbulkan emosi kuat—marah, curiga, takut—lebih cepat viral. Dalam kasus ini, narasi seperti 'pemimpin negara memalsukan ijazahnya' menimbulkan keterkejutan, kemarahan, bahkan rasa pengkhianatan. Ini menjadi bahan bakar utama dalam penyebaran isu, terlepas dari validitasnya.