Mohon tunggu...
Setio Darianto
Setio Darianto Mohon Tunggu... Pemerhati

Jadikan setiap kesempatan untuk belajar, tumbuh, dan menjadi versi terbaik dari diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebenaran yang Terfragmentasi : Psikologi Konspirasi di Balik Polemik Ijazah Jokowi

21 April 2025   13:15 Diperbarui: 21 April 2025   13:19 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Di tengah derasnya arus informasi digital, publik Indonesia kembali diguncang oleh isu kontroversial: dugaan ijazah palsu Presiden Ke-7. Meski pihak universitas, otoritas negara, dan bahkan mantan Presiden sendiri telah memberikan klarifikasi, sebagian masyarakat masih meragukan keasliannya. Mengapa demikian? Di sinilah psikologi memberi penjelasan—tentang bagaimana manusia membentuk persepsi, merespon informasi ambigu, dan percaya pada narasi konspiratif.

Kognisi Sosial : Saat Persepsi Lebih Kuat dari Bukti

Dalam psikologi kognitif, manusia dikenal sebagai information processors yang tidak selalu rasional. Ketika dihadapkan pada informasi kompleks atau membingungkan seperti isu ijazah palsu, otak mencari jalan pintas kognitif atau heuristik. Salah satunya adalah confirmation bias—yakni kecenderungan untuk menerima informasi yang mendukung keyakinan kita, dan menolak yang bertentangan.

Echo Chamber & Filter Bubble : Media Sosial dan Polarisasi Kebenaran

Media sosial memperparah fragmentasi kebenaran. Di dunia maya, kita cenderung hanya terpapar informasi dari orang-orang yang sependapat. Ini disebut echo chamber—fenomena di mana opini kita terus diperkuat tanpa tantangan dari perspektif berbeda. Algoritma media sosial pun memperkuat ini melalui filter bubble, yang secara otomatis menyaring informasi berdasarkan preferensi pengguna.

Teori Konspirasi dan Psikologi Ketidakpastian

Menurut psikologi sosial, orang lebih rentan mempercayai teori konspirasi ketika mereka merasa tidak memiliki kendali, cemas, atau hidup dalam ketidakpastian. Isu ijazah palsu bukan hanya soal dokumen akademik, tapi simbol dari sesuatu yang lebih besar—ketidakpercayaan terhadap sistem, ketakutan terhadap manipulasi elite, dan kekhawatiran bahwa demokrasi sedang diselewengkan.

Emosi, Viralitas, dan Distorsi Kebenaran

Psikologi juga mencatat bahwa emosi sangat berperan dalam penyebaran informasi. Konten yang menimbulkan emosi kuat—marah, curiga, takut—lebih cepat viral. Dalam kasus ini, narasi seperti 'pemimpin negara memalsukan ijazahnya' menimbulkan keterkejutan, kemarahan, bahkan rasa pengkhianatan. Ini menjadi bahan bakar utama dalam penyebaran isu, terlepas dari validitasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun