Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Potret Guru Honorer Daerah Terpencil Saat Pandemi: Naik Turun Bukit demi Keadilan Belajar

3 Mei 2020   13:56 Diperbarui: 3 Mei 2020   14:02 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pembelajaran langsung di rumah

Bukan tanpa alasan, respon orang tua siswa juga beragam, dari yang terima, judes, hingga protes harus mereka terima. Bahkan, seringkali orang tua murid berargumen, "Nggak mungkin dong orang kampung gini ada yang kena virus, jadi kenapa harus ikut-ikutan diliburkan sekolahnya". Pernyataan seperti tadi seringkali mereka tidak jawab secara gamblang karena tidak mau berurusan panjang. Mereka hanya sering menjawab. "Iya Bu, saya hanya melaksanakan tugas mengajar saja".

Apa yang harus dihadapi para guru ini sungguh melelahkan, menuruni tiga hingga lima bukit untuk menjangkau rumah-rumah peserta didik, jika jalan licin perjalanan harus berlipat lamanya. Lirih hatinya semakin menyayat kala melihat imbauan social distancing yang memang tidak berlaku, masyarakat tetap berkerumun seperti sedia kala, yang mereka pahami adalah kehidupan kota dengan desa berbeda, wabah virus hanya ada di kota, tidak ada di desa. Fenomena tersebut juga menjadikan gundah di hati para guru honorer ini: mengapa saya tidak ikut apa yang warga lain katakan? Mengapa sekolah harus mengikuti kebijakan pemerintah, padahal jelas-jelas disini tidak ada virus, tidak ada yang terlutar, dan rasanya tidak mungkin ada yang tertular melihat mayoritas hanya diam di kampung dan menjadi petani?

Ironi Pembangunan

Pemerataan pembangunan masih selalu menjadi tanda tanya besar para guru honorer ini. Mengapa hanya fasilitas insfrastruktur saja yang diperbaiki, syukur-syukur jika betul fisik sekolah diperbaiki, ini kalo tidak bagaimana? Yang hanya ada dipikiran mereka, mengapa akses jalan untuk proyek dibuat secara serius, tapi mengapa akses ke perumahan-perumahan warga tidak. Apa gunanya jalan besar proyek itu, jika tidak bisa dipake warga, lalu untuk siapa jalan besar itu? Bahkan jika dilihat, dampak mega proyek itu hanya berpengaruh pada akses jalan utama saja yang lebih baik, aspek-aspek lainnya tidak tersentuh sama sekali. 

Terutama akses mobilitas warga yang bisa menunjang pendidikan. Bagi para siswa sekolah dasar ini, mereka tetap harus melalui jalur yang itu-itu saja, jalur licin nan berbahaya kala melangkahkan kaki ke selolah. Padahal seharusnya pembangunan yang berhasil adalah jika menimbulkan dampak positif bagi masyarakat di sekelilingnya.

Hal ini tentunya menjadi ironi dan malah kembali menimbulkan tanda tanya besar. Untuk siapa proyek besar ini? Kenapa warga tetap susah meski ada proyek besar pun? Kemiskinan tetap ada, kemajuan pendidikan tetap stagnan, bahkan menurun? Dan apakah harus membangun proyek dulu jika ingin memperbaiki kualitas masyarakat desa?

Ah, apalah arti sebuah pertanyaan itu jika jawabannya hanya tetap bersimpul pada, semua perlu proses yang panjang, masyarakat perlu adaptasi kembali sehingga dampaknya akan dirasakan jauh kedepan. Mungkin hal ini benar, proses yang bisa hantarkan perubahan masyarakat, namun jika terus-menerus mandeg seperti ini apakah itu sebuah proses? Lalu siapa yang harus disalahkan?

Sebuah proyek nan besar yang sudah berlangsung sejak tahun 2010 lalu ini memang terbilang megah. Katanya dana yang dikeluarkan sudah triliunan rupiah untuk membangun mega proyek PLTA yang membendung waduk Cisokan Cianjur ini. Ribuan hektar lahan warga dibeli untuk dijadikan waduk dan jalan yang menghubungkannya. Alhasil, saat ini jalan sudah melintang besar dan memotong bukit-bukit yang terdapat perumahan-perumahan warga di atasnya. 

Jika dilihat dari atas bukit, jalanan tersebut terlihat indah dan bagus, namun jika menuruni bukit mereka tetap sadar bahwa jalan yang mereka injak bukanlah sehalus aspal yang mereka lihat dari atas bukit. Uang yang mereka terima pun hanya habis untuk membangun rumah yang terpaksa dijual, lebih-lebih ada untuk membeli sawah yang terpaksa dijual akibat terdampak bendungan. Setelahnya, mereka hidup kembali seperti sedia kala, menyaksikan pembangunan besar tanpa menikmati peran di dalamnya.

Itulah sekelumit ironi pembangunan. Megah namun tak dinikmati. Bukan pajangan, tapi elok jika dipandangi. Sekelumit cerita ini kembali bertambah kelumit tat kala ditambah susah payahnya menikmati internet di desa ini. Padahal tidak terlalu mahal jika dibangun tower-tower internet itu. Minimal, dengan adanya internet keinginan pada penggalian informasi dan penggunaan ponsel pintar ada dalam masing-masing warga. Meskipun tidak dapat dipungkiri akan berdampak negatif, setidaknya hal ini menjadi simbol baik suatu kemajuan. 

Ataukah ini suatu rencana agar proyek tetap berjalan, tapi warga tetap "bodoh" seperti sedia kala? Yang pasti tidak ada yang tahu pasti ini mengapa bisa terjadi. Ironi pembangunan bukan hanya sebuah ilusi tanpa bukti, disini terjadi demikian. Pembangunan yang seharusnya dinikmati semua warga, namun hanya menjadi museum besar masyarakat. Bukannya merubah tatanan kehidupan malah menenggelamkan ketidakberdayaan dalam suatu simbol perubahan. Itulah yang dimaksud pembangunan secara fisik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun