"Aku ga lapar Bu, aku masih mau disini."
Perlahan orang-orang berdiri untuk menghantarkan jenazah kepemakaman, Bapak dan kakek posisi paling depan mengangkat kerada, posisi tengan dipegang oleh ustad Arifi dan paman, sedangkan posisi paling belakang ketua rt dan tetangga yang ikut membantu menggangkat. Aku dan ibu berdiri didekat pintu, tak kuasa melihat kepergian ka Faris begitu cepat. Tiba-tiba tubuhku berkeringat dingin, terasa mual dan pusing, penglihatan mulai buyar. Seketika suara menjadi hening.
"Nak bangun, nak bangun." Suara panggilan itu terdengar dibarengi isak tangis. Mataku mulai terbuka, kulihat ibu duduk disampingku begitupun kakek.
"Makan dulu ya sayang."
"Bu Kakak, kenapa kakak tinggalin Aisyah? Kita janji tanggal 3 tepat  hari ini ketemu Bu?"
"Sayang..." suara lembut ibu diiringi tangisan, perlahan ibu mengelus kepalaku dan memeluk erat tubuhku.
*****
Satu hari sudah berlalu, namun masih banyak orang berdatangan. Dan aku masih tetap mengurung diri dikamar atas, sesekali aku melihat dari jendela kamar setiap kali ada tamu yang berdatangan.
Kring... kring... (Bunyi handphone)
Aku menatap layar kaca Hp dengan nomor tidak dikenal memanggil, namun ketika aku akan mengangkatnya justru dringnya mati menandakan panggilan sudah berakhir. Akhirnya aku membuka Hp dan mulai membaca satu persatu pesan, terlihat beberapa notif pesan yang masuk dari rekan kerjaku, namun lebih banyak pesan bela sungkawa dari beberapa teman dan orang-orang terdekatku.
Tok.. Tok.. (Suara Pintu)
"Nak, ini Hp Ka Faris dari tadi bunyi tapi ibu tidak bisa membuka kuncinya. Adikmupun ga tau caranya, coba kau lihat dulu siapa tau kamu paham!".