Mohon tunggu...
Sergio Tanje
Sergio Tanje Mohon Tunggu... SMA

Mencoba lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Gandrung Budaya Korea Sampai Melupakan Budaya Sendiri

6 Agustus 2025   20:40 Diperbarui: 27 Agustus 2025   21:53 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Budaya Korea (sumber : SUN Education )

Kegandrungan pada budaya asing boleh saja, tetapi jangan sampai membuat kita kehilangan jati diri dan lupa pada warisan budaya bangsa sendiri.

Di era globalisasi dan perkembangan teknologi digital yang semakin pesat, batas antar budaya semakin kabur. Kini, siapa pun dapat dengan mudah mengakses budaya negara lain hanya dalam hitungan detik. Salah satu fenomena mencolok yang tampak jelas di kalangan remaja Indonesia adalah kegandrungan mereka terhadap budaya Korea. Kata “gandrung” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti “sangat tertarik atau tergila-gila (karena cinta, hobi, dan sebagainya); bernafsu sekali.” Pengertian ini sangat sesuai dengan realitas yang kita saksikan saat ini, di mana banyak remaja tergila-gila pada musik K-pop, drama Korea, produk skincare, hingga gaya hidup ala Korea Selatan.

Fenomena ini begitu nyata dalam keseharian. Poster-poster idola K-pop menghiasi kamar tidur, akun media sosial dipenuhi cuplikan konser, dan percakapan sehari-hari pun sering diselipi kosakata bahasa Korea. Tidak jarang, banyak remaja rela begadang hanya untuk menonton siaran langsung konser atau acara fan meeting yang berlangsung di Korea meskipun waktunya dini hari di Indonesia. Antusiasme yang demikian besar tentu menarik untuk ditelaah: apakah fenomena ini murni sebagai bentuk kekaguman, atau justru telah bergeser menjadi semacam ketergantungan budaya? Apakah di balik kegandrungan ini, masih ada ruang tersisa untuk mencintai budaya bangsa sendiri?

Mari kita memandangnya dari sudut pandang sastra. Bayangkan seorang remaja yang duduk di tepi jendela kamar pada sore yang diguyur hujan. Di tangannya, sebuah ponsel bergetar lembut, memutar lagu merdu dari idola K-pop yang begitu ia kagumi. Setiap nada bagai pelarian, setiap lirik adalah pelukan imajiner yang menenangkan batinnya. Ia tertawa, ia larut dalam alunan musik, dan seolah hidup dalam kisah dramanya sendiri. Wajah-wajah yang tersaji di layar ponselnya tampak begitu sempurna, seakan tidak pernah bisa menyakitinya. Namun, di sisi lain, dinding kamarnya yang mulai lusuh menunjukkan sebuah kontras. Wayang kulit yang dahulu tergantung dengan bangga, kini terjatuh tanpa disadari. Buku cerita rakyat yang dulu sering dibacakan neneknya, kini hanya teronggok di rak paling bawah, tertutup debu dan terlupakan.

Di sinilah terlihat paradoks: dalam kegandrungan yang begitu dalam terhadap budaya asing, perlahan namun pasti, sebagian remaja melupakan bahwa di tanah air mereka sendiri pun terdapat kisah, lagu, dan keindahan yang tidak kalah memesona untuk dicintai. Padahal, fenomena gandrung terhadap budaya asing sejatinya bukanlah hal baru. Sejak dulu, setiap era selalu memiliki tren budaya yang dianggap modern atau keren. Hanya saja, tantangan utama kita terletak pada bagaimana menyikapi kegandrungan itu dengan bijak.

Tidak ada yang salah dengan mengagumi budaya asing. Justru, hal itu bisa menjadi sarana memperluas wawasan, mengenal nilai-nilai baru, dan melatih sikap toleransi terhadap perbedaan. Namun, masalah muncul ketika kekaguman tersebut berubah menjadi bentuk ketergantungan yang membutakan, sehingga membuat generasi muda melupakan akar identitas mereka sendiri.

Oleh karena itu, penting bagi remaja masa kini untuk menyadari bahwa mencintai budaya Korea, Jepang, atau negara manapun tidak berarti harus mengabaikan budaya lokal. Kegandrungan terhadap drama Korea seharusnya tidak membuat kita lupa pada keindahan cerita rakyat Nusantara. Kekaguman terhadap musik K-pop tidak seharusnya mengikis kebanggaan terhadap gamelan, angklung, atau tari tradisional. Begitu pula penggunaan produk skincare Korea tidak lantas meniadakan warisan pengetahuan leluhur mengenai jamu dan perawatan herbal alami.

Pada akhirnya, mencintai budaya asing sama sekali bukan kesalahan, asalkan tetap disertai dengan kesadaran untuk melestarikan budaya sendiri. Seperti halnya cinta yang sehat, rasa kagum pada budaya luar tidak perlu membutakan kita dari harta berharga yang telah diwariskan nenek moyang.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun