Mohon tunggu...
Septyan Hadinata
Septyan Hadinata Mohon Tunggu... buruh

Ikhlas bersama sabar dalam mengembara di dunia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menimbang Rasionalitas Pinjaman 230 M Pemkab Tasikmalaya

13 Oktober 2025   06:28 Diperbarui: 13 Oktober 2025   06:28 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya tengah menggulirkan rencana untuk mengajukan pinjaman daerah sebesar Rp230 miliar yang akan dicicil selama lima tahun. Rencana ini dimasukkan dalam rancangan RPJMD sebagai bagian dari strategi pembiayaan pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik.

Namun, wacana tersebut memicu perdebatan sengit di kalangan legislatif. Hanya dua fraksi---PPP dan PKS---yang sejauh ini menyatakan dukungan, sementara fraksi-fraksi lain menolak dengan alasan komunikasi yang tidak transparan, belum adanya studi kelayakan yang komprehensif, serta kekhawatiran terhadap beban fiskal daerah.

Pertanyaannya: apakah pinjaman ini langkah berani yang visioner, atau justru potensi jerat fiskal yang perlu diwaspadai?

Antara Kebutuhan dan Kehati-hatian Fiskal

Dari sisi ekonomi, pinjaman pemerintah daerah sejatinya merupakan instrumen pembiayaan sah dan lazim, selama diarahkan untuk belanja produktif---seperti infrastruktur, fasilitas publik, atau proyek yang menghasilkan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dengan nilai Rp230 miliar, peluang yang dibuka cukup besar: percepatan pembangunan jalan, revitalisasi pasar, penguatan pelayanan dasar, hingga mendorong geliat ekonomi lokal. Bila dijalankan dengan tepat sasaran, pinjaman ini bisa berperan sebagai katalis pembangunan yang manfaatnya jauh melampaui nilai bunga yang dibayar.

Namun, di sisi lain, setiap rupiah yang dipinjam adalah kewajiban masa depan.

Dengan jangka pelunasan lima tahun, Pemkab harus mengalokasikan dana pelunasan pokok sekitar Rp28--46 miliar per tahun, tergantung skema yang digunakan. Jika ditambah bunga yang disebut-sebut bisa mencapai Rp50 miliar per tahun, maka total beban tahunan bisa melampaui Rp70 miliar.

Angka sebesar itu tentu akan menekan ruang fiskal APBD, yang seharusnya digunakan untuk belanja pendidikan, kesehatan, dan pelayanan dasar lainnya. Apalagi, jika pendapatan daerah tidak tumbuh seiring dengan kewajiban cicilan, maka pemerintah bisa terjebak dalam jebakan utang (debt trap) skala lokal.

Perspektif Ilmiah dan Multidisipliner

Dari perspektif ekonomi publik, pinjaman hanya layak jika manfaat sosial dan ekonomi proyek yang dibiayai lebih besar daripada biaya utangnya. Itu berarti, setiap proyek yang masuk ke dalam daftar pembiayaan harus melalui studi kelayakan independen dengan ukuran seperti benefit-cost ratio, net present value, dan payback period.

Secara fiskal, Pemkab wajib menghitung debt service ratio---yakni perbandingan antara kewajiban pembayaran utang tahunan dengan total penerimaan daerah. Rasio ini idealnya tidak melebihi 20--25% agar APBD tetap sehat.

Dari sisi tata kelola pemerintahan, prosedur pinjaman daerah juga menuntut keterlibatan DPRD sejak tahap perencanaan, bukan setelah rencana matang dan tinggal disahkan. Komunikasi yang terlambat menimbulkan persepsi bahwa pemerintah kurang transparan, sehingga wajar jika beberapa fraksi menolak.

Sementara dari kacamata sosiologi politik, minimnya sosialisasi membuat isu ini mudah dipolitisasi. Padahal, kepercayaan publik dan DPRD adalah kunci utama agar kebijakan pembiayaan jangka panjang memiliki legitimasi moral dan sosial.

Risiko Nyata dan Potensi Manfaat

Pinjaman daerah bukan dosa fiskal. Tetapi ia adalah obat keras yang harus diminum dengan dosis dan pengawasan tepat.

Risiko negatif yang mengintai antara lain:

  • Penurunan kemampuan belanja sosial akibat beban cicilan.
  • Ketergantungan pada utang untuk pembiayaan rutin.
  • Potensi proyek gagal guna (tidak menghasilkan manfaat ekonomi).
  • Konflik politik berkepanjangan antara eksekutif dan legislatif.

Namun, manfaat potensialnya juga signifikan, bila:

  • Proyek yang dibiayai memberi dampak ekonomi langsung (misalnya pasar, terminal, jalan produksi).
  • Pembayaran cicilan diimbangi peningkatan PAD atau efisiensi belanja.
  • Pemerintah memastikan transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas sejak awal.

Akar Masalah: Komunikasi yang Tertinggal

Dari banyak kasus serupa di berbagai daerah, perdebatan soal pinjaman bukan hanya masalah angka, melainkan masalah komunikasi.

Rencana sebesar Rp230 miliar seharusnya dikomunikasikan sejak tahap perencanaan RPJMD kepada DPRD dan masyarakat luas, disertai data rinci, simulasi pembayaran, dan rencana manfaat konkret.

Keterbukaan informasi publik bukan sekadar kewajiban formal, tetapi juga strategi politik dan manajerial. Dengan membuka data, menjelaskan manfaat, dan mengajak DPRD berdiskusi sejak awal, pemerintah bisa menghindari kesan "keputusan sepihak" dan membangun dukungan lintas fraksi.

Rekomendasi untuk Jalan Tengah

Agar rencana pinjaman ini tidak berubah menjadi kontroversi berkepanjangan, beberapa langkah berikut layak dipertimbangkan:

  1. Lakukan studi kelayakan menyeluruh dan independen, termasuk proyeksi arus kas dan dampak fiskal jangka menengah.
  2. Pastikan proyek yang dibiayai bersifat produktif dan berkontribusi pada PAD atau pelayanan dasar masyarakat.
  3. Negosiasikan bunga dan tenor terbaik, hindari pinjaman berbunga tinggi yang menekan APBD.
  4. Tingkatkan transparansi dan komunikasi publik, dengan menyajikan infografis, simulasi keuangan, dan laporan berkala kepada DPRD serta masyarakat.
  5. Libatkan akademisi dan lembaga pengawasan untuk menjaga objektivitas perencanaan dan pelaksanaan.

 

Pinjaman daerah bisa menjadi alat percepatan pembangunan, tetapi tanpa perencanaan matang dan komunikasi terbuka, ia berisiko menjadi beban fiskal jangka panjang.

Tasikmalaya membutuhkan pembangunan, tetapi juga membutuhkan kehati-hatian. Dalam pengelolaan keuangan publik, keberanian harus diimbangi dengan kebijaksanaan. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik adalah tiga pilar yang akan menentukan apakah pinjaman Rp230 miliar ini menjadi warisan pembangunan atau beban politik dan fiskal di masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun