Mohon tunggu...
Septyan Hadinata
Septyan Hadinata Mohon Tunggu... buruh

Ikhlas bersama sabar dalam mengembara di dunia

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Poe Ibu ala KDM;Antara Kretivitas Bahasa dan Kekeliruan Makna

7 Oktober 2025   06:28 Diperbarui: 7 Oktober 2025   06:28 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : AI Internet 

Di tengah geliat inovasi kebijakan publik, Jawa Barat kembali menjadi sorotan setelah munculnya gagasan Rereongan Sapoe Sarebu --- sebuah gerakan gotong royong untuk menyumbang seribu rupiah per hari bagi kepentingan sosial. Ide mulia ini oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kemudian dikemas dengan nama yang unik dan berakar pada bahasa Sunda: "Po Ibu".

Namun, tak lama setelah diperkenalkan, istilah ini menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat. Ada yang menilai programnya bernilai sosial tinggi, tetapi tidak sedikit pula yang justru mempermasalahkan pemilihan nama. Di sinilah pentingnya meninjau persoalan ini bukan dari substansi program, melainkan dari sisi bahasa dan kearifan linguistik budaya Sunda.

Ketika Akronim Menjadi Sumber Kerancuan

Dalam wacana kebahasaan, pemilihan nama bukan sekadar estetika, melainkan bagian dari konstruksi makna sosial. Akronim "Po Ibu" sejatinya diambil dari semangat Rereongan Sapoe Sarebu --- rereongan berarti gotong royong, sapoe berarti sehari, sarebu berarti seribu. Namun, penyebutan Po Ibu justru menimbulkan ambiguitas semantik.

Dalam bahasa Sunda, po berarti hari, dan ibu berarti indung (mother). Maka, "Po Ibu" secara literal bermakna "Hari Ibu". Frasa ini sudah melekat kuat sebagai simbol penghormatan terhadap sosok ibu, bukan sebagai program urunan dana. Akibatnya, publik yang mendengar nama tersebut tidak serta-merta mengaitkannya dengan semangat gotong royong, melainkan pada peringatan Hari Ibu yang bersifat emosional dan kultural.

Inilah yang disebut para linguis sebagai konflik signifikasi --- ketika satu tanda bahasa menanggung dua makna yang berbeda secara konteks. Hasilnya, pesan pemerintah kehilangan kejernihan, bahkan menimbulkan tafsir berlapis yang sulit dikendalikan.

Dari Bahasa Sunda ke Bahasa Publik

Dari kacamata ilmu bahasa Sunda, pembentukan frasa "Po Ibu" melompat jauh dari bentuk asalnya. Secara morfologis, Rereongan Sapoe Sarebu sudah cukup jelas: menggambarkan semangat udunan seribu sehari. Tidak ada keperluan linguistik yang mengharuskan perubahan menjadi bentuk baru.

Bahasa Sunda memegang prinsip kesantunan dan makna simbolik tinggi. Istilah po sering digunakan untuk momen penting seperti Po Kemerdekaan, Po Isra Mi'raj, hingga Po Ibu sendiri. Karena itu, meminjam istilah tersebut untuk kepentingan program ekonomi atau sosial tanpa penjelasan yang memadai berisiko menimbulkan kesalahpahaman budaya.

Sementara itu, dalam teori bahasa Indonesia, pembentukan akronim harus memenuhi tiga syarat: transparan, unik, dan mudah dikenali maknanya. Akronim "Po Ibu" justru gagal pada poin kedua karena tidak unik. Ia sudah memiliki makna lama yang kuat dalam ranah budaya dan sosial.

Bahasa Adalah Wajah Budaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun