Penggunaan istilah lokal dalam program pemerintah seharusnya menjadi bentuk penghargaan terhadap bahasa daerah, bukan alat branding politik atau komunikasi cepat yang mengorbankan kejelasan makna.
Bahasa adalah wajah budaya. Ketika pemerintah memakai bahasa Sunda, publik berharap ada keselarasan antara bentuk dan makna, antara niat dan penuturan.
Dalam konteks "Po Ibu", terlihat adanya pergeseran nilai dari simbol kasih dan penghormatan menjadi simbol administrasi partisipatif. Pergeseran ini menimbulkan resistensi kultural: sebagian masyarakat merasa istilah sakral digunakan terlalu bebas, seolah kehilangan martabat bahasanya.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa kekuasaan bahasa bukan hanya terletak pada siapa yang berbicara, melainkan bagaimana kata dipilih dan apa yang dikandung di baliknya. Kata yang indah tidak selalu tepat, dan kata yang bermakna dalam belum tentu sesuai konteks.
Belajar Bijak dari Kerancuan
Reaksi publik terhadap Po Ibu sesungguhnya menjadi pelajaran penting bagi para pemangku kebijakan: bahwa setiap istilah publik harus melalui uji bahasa dan uji budaya.
Sebelum sebuah istilah dipopulerkan, sebaiknya dilakukan uji persepsi --- bagaimana masyarakat menafsirkan nama itu. Langkah sederhana ini bisa mencegah distorsi makna dan perdebatan yang tidak perlu.
Sebagai alternatif, istilah seperti "Rereongan Sapoe Sarebu" atau "Gerakan Udunan Seribu Sapoe" lebih aman secara linguistik. Selain mempertahankan unsur bahasa Sunda, istilah tersebut deskriptif, transparan, dan tidak menimbulkan multitafsir.
Menjaga Martabat Bahasa
Bahasa daerah seperti Sunda memiliki kedalaman makna dan nilai-nilai spiritual yang membentuk karakter masyarakatnya. Menggunakan bahasa daerah untuk program publik adalah hal baik, asalkan tidak mengorbankan makna dasarnya.
Kesalahan kecil dalam pemilihan akronim bisa berujung pada kesalahpahaman besar dalam komunikasi publik.