Kebijakan cut off anggaran yang diterapkan Bupati Tasikmalaya pada pertengahan tahun 2025 menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Langkah ini, meskipun memiliki payung hukum berupa Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 dan Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 1774/KU.03/BPKPD, justru memunculkan pertanyaan mendasar: apakah prosedurnya sesuai prinsip pengelolaan keuangan daerah yang baik? Dan, lebih penting lagi, bagaimana dampaknya terhadap masyarakat luas?
Landasan Regulasi dan Pertanyaan Hukum
Secara formal, kebijakan ini memang memiliki dasar. Inpres dan Surat Edaran Gubernur mengatur efisiensi belanja daerah, mengutamakan pengeluaran untuk hal rutin, mengikat, dan mendesak seperti gaji pegawai. Namun, yang menjadi masalah adalah penerapannya di tengah tahun anggaran tanpa kajian komprehensif terhadap program yang sudah berjalan.
Pengelolaan APBD bukan hanya soal menahan belanja, tetapi juga memastikan kesinambungan program dan proyek yang telah direncanakan serta disepakati bersama DPRD. Dalam konteks hukum keuangan daerah, perubahan mendadak tanpa penyesuaian dokumen perencanaan dan penganggaran dapat berpotensi melanggar asas transparency, accountability, dan predictability.
Dampak pada Masyarakat
Dampak paling nyata dirasakan masyarakat di sektor-sektor vital. Program bantuan untuk kelompok tani---seperti pengadaan bibit, pupuk, dan perbaikan irigasi---terhenti. Padahal, sektor pertanian merupakan tulang punggung ekonomi daerah sekaligus penopang ketahanan pangan nasional.
Pelayanan publik lain seperti kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial juga terganggu. Tenaga honorer, termasuk sukarelawan di berbagai instansi, kehilangan dukungan transportasi yang sebelumnya didanai dari rereongan. Semua ini menimbulkan efek domino yang merugikan kehidupan sehari-hari warga.
Proyek Terhenti dan Efek Ekonomi
Tak hanya masyarakat, dunia usaha juga terdampak. Sejumlah proyek infrastruktur yang telah selesai dikerjakan tidak bisa dibayar karena cut off. Kontraktor yang telah menggunakan modal, bahkan sebagian dari pinjaman bank, kini menanggung beban bunga tanpa kepastian pembayaran. Keadaan ini berpotensi memicu sengketa kontrak, menurunkan kepercayaan investor, dan merusak reputasi pemerintah daerah di mata mitra kerja.
Lebih jauh, proyek yang belum selesai terancam melewati batas waktu pelaksanaan. Jika terjadi keterlambatan, kontraktor bisa dikenai denda sesuai klausul perjanjian, sementara masyarakat kehilangan manfaat dari infrastruktur yang semestinya sudah dapat digunakan.
Tanggung Jawab Moral dan Jalan Keluar