Mohon tunggu...
Septian Murival
Septian Murival Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja

Mendengar musik, membaca. Jika alam mengijinkan diakhiri dengan belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pemilu 2024: Pelawak, ke Senayan?

24 Februari 2024   19:37 Diperbarui: 24 Februari 2024   19:37 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mendengar kata politik, setiap orang akan berbeda reaksi dan pemikirannya. Ada yang pesimis, ada yang semangat dan tak banyak pula benci bahkan menghindari topik itu di bahas atau diperbincangkan. Mengamati pemilu 2024 ini, agaknya seru sekali dan penuh dengan intrik-intrik yang tersaji ditelevisi, ini tak ubahnya sebuah pertunjukan opera yang amat pelik saling berhimpit dan berkelindan mengenai meyakinkan konstituen cara memberikan  keadilan dan kemakmuran. Politik memanglah dinamis, kausalitas atau sebab akibat dari pergeseran itu seringkali terjadi ditengah jalan juga acap kali diakhir jabatan. Tak ayal nuansa isme dalam hati pemilih sering kali berubah-ubah tergantung perlakuan Negara terhadap rakyatnya alias Daftar Pemilih Tetap yang santer terdengar belakangan ini.

Desain besar PEMILU 2024 ini lebih ramai dan dramatis melebihi sinema elektronik (sinetron) semuanya mencoba berebut suara rakyat agar mau memilih mereka untuk difasilitasi Negara agar memasak kebijakan yang lezat serta mengenyangkan masyarakat. Jika dulu politik dan drama sering kali dihubungkan karena tingkat sandiwara yang disajikan seolah-olah sama bahkan acap kali politik melampaui pertunjukan drama itu sendiri. Namun pada kontestasi politik 2024 ini sepertinya politik dimata masyarakat menjadi drama atau opera seutuhnya, selain karena memang mayoritas politikus penuh intrik ditambah lagi sejak dulu para artis, komedian serta pelaku seni lainnya ikut terjun dalam kancah perpolitikan di indonesia.

Dan yang tak kalah mengejutkan salah satu legenda hidup komedian Komeng alias Alfiansyah Bustami cara masuk dalam pusaran kursi legislatif dengan cara yang terbilang unik melalui fotonya tanpa menanggalkan latar belakangnya sebagai seorang pekerja seni alias pelawak. Pose konyol Komeng dikertas suara menjadi daya tarik tersendiri, bayangkan saja tanpa kampanye seperti calon-calon lain, ia mampu memperoleh suara melebihi calon lain bahkan untuk skala perolehan suara-suara partai kecil. Dalam hal ini kita tentu tak berhak mengomentari kapasitas seseorang, sebab saya percaya dengan orang-orang sering berkata jika komedian adalah orang cerdas yang berpikir keras untuk berlakon atau mengarang cerita lucu supaya penonton bisa tertawa, mudah-mudahan sesuai harapan pemilih.

Lebih dari itu, pertanda apakah ini. Apa yang sebenarnya terjadi pada PEMILU kali ini, ada apa dengan para pemilih, bagaimana suasana batin dan persepsi masyarakat tentang politik atau PEMILU juga mengenai wakil mereka di Parlemen. Apakah simbol-simbol pakaian rapi, peci, jas dan dasi, atau senyum ramah beserta gaya gagah tak lagi memiliki nilai positif di mata pemilih. Memaknai fenomena ini seperti melihat puncak pesmistis atau kekecewaan masyarakat pada perwakilan mereka selama ini di Senayan, namun apakah ini sepadan hasil pilihan masyarakat. Mudah-mudahan ini bukanlah puncak komedi dari sebuah proses politik yang ada di indonesia, sebab garansi dari sebuah pilihan tetap harus menggunakan pola pikir rasional dan nurani sehingga tidak ada nilai yang ditabrak dalam bernegara. Terlepas dari itu semua politik itu adalah seni itu sendiri, seni untuk mencapai kepentingan, namun yang mesti kita kawal adalah kepentingan itu haruslah kepentingan bersama atau rakyat.

Upaya edukasi politik akhirnya menjadi solusi terakhir agar masyarakat tak lagi apatis dan juga bisa menyembuhkan kekecewaan mereka atas berbagai kasus hukum seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, ditambah lagi minimnya dampak baik bagi kehidupan yang mereka peroleh setelah pesta demokrasi usai. Jika ini terlaksana dengan baik tentu ini juga pelan-pelan akan mengikis budaya politik uang yang sering dimainkan oleh oknum-oknum politikus serakah demi mencapai kepentingannya. Penyempurna terakhir dari edukasi politik adalah peran kuat tokoh agama agar gencar mendakwahkan tidak bolehnya praktik politik uang dalam memilih pemimpin. Semoga saja Agama, rasional dan kegembiraan bisa bersanding dengan porsi yang tepat dalam dunia politik demi kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun