Mohon tunggu...
Septian DR
Septian DR Mohon Tunggu... Translator dan Wiraswasta -

TRANSLATOR & KOMIKUS

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tuan Bong Chapter IV

13 Januari 2015   00:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:17 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1421056929471184505

[caption id="attachment_390351" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi karya Septian DR"][/caption]

Malam sudah tiba. Beruntung sekali kami karena cuaca tampak cerah dengan bulan dan bintang yang bersinar terang. Padahal hari-hari belakangan ini hujan deras terus turun. Namun aku tidak bisa memprediksi apakah cuaca akan baik-baik saja seperti ini terus atau bakal turun hujan begitu kami mencapai Pekalongan nanti. Perutku mulai terasa keroncongan dan kurasa kami harus mampir membeli makan. Kulirik Rina, rupanya dia sudah bangun dan menguap lebar. “Jam berapa, Joni? Oh ya, aku lupa ada jam digital di sini. Pukul 19.00 malam. Apa kita sudah sampai Pekalongan?”

Aku menggelengkan kepala. “Belum, Tuan Putri Rina.”

“Kau tidak perlu memanggilku begitu, Joni. Lagipula aku bukan bangsawati.”

“Kau seharusnya jadi Ratu Kerajaan negara kita tercinta.”

“Aku tidak akan mau jadi Ratu.” kata Rina tersenyum bangga. “Kita makan malam dulu tidak, Joni?”

“Jelas, Rina. Kita mampir di rumah makan pinggir jalan saja supaya tidak terlalu mahal.”

“Aku kangen Rendang, Joni. Coba cari rumah makan Padang di sebelah kiri jalan.”

Rina menuruti perintahku, lalu menatap lewat jendela, terus memantau kondisi di luar, terutama di sebelah kiri jalan. Sekonyong-konyong kudengar sirine mobil patroli polisi dan ambulans meraung-raung, meminta kami memberi jalan. Aku sedikit berbelok ke kiri, membiarkan mobil polisi dan ambulans lewat.

Saat itulah Rina mengetuk-getuk kaca mobil sebelah kiri, lalu menjentikkan jari dengan penuh semangat. Mau tak mau, aku tersenyum melihat Rina melakukan hal itu. Tampaknya, itulah ciri khas Rina memberiku isyarat, supaya aku segera menepi dan parkir dekat trotoar, lalu makan enak. Kuturuti kata hati Rina, lalu aku melihat Restoran Padang seratur meter sebelah kiri jalan di depanku. Kutepikan mobil dekat trotoar, lalu mesin mobil kumatikan. Aku dan Rina keluar dari mobil, lalu setelah mengaktifkan pengaman, bergegas menuju pintu masuk Restoran Padang yang tampak laris dikunjungi pelanggan baik baru maupun lama. Begitu masuk, pelayan menyambut kami sekalian mencarikan tempat duduk dan meja yang pas buat kami. Aku memesan Gulai Sapi dan Juice Pepaya, sementara Rina memesan Nasi Rendang Spesial dan Juice Semangka. Pelayan mengangguk gembira, lalu berjalan gesit meninggalkan kami berdua.

“Nasi Rendang Spesial itu seperti apa, Rina?”

“Pakai telur bebek.”

“Kenapa tidak pakai telur sapi?”

“Kalau tidak bisa bertanya lebih baik, semestinya kau diam saja.”

“Masalahnya aku punya hak untuk bertanya. Kau juga begitu padaku. Kita bisa saling bertanya tanpa perlu mengetahui jawabannya.”

“Joni, kenapa kita tidak mencoba menikmati suasana Restoran Padang ini dan makan dengan nyaman?”

Aku mengangguk-angguk setuju, meskipun dalam hati aku agak dongkol. Tidak mengapa, memang lebih baik kita menikmati suasana di sini. Pelayan yang tadi menyambut kami datang dengan riang gembira ke meja kami sambil membawa pesanan Nasi Rendang Spesial dan Gulai Sapi, juga dua juice segar pilihan kami.

Tanpa ragu, kami berdua pun menyantap hidangan itu dengan begitu lahap. Usai makan, tanpa terburu-buru, kami menyeruput juice sedikit demi sedikit tanpa saling berbincang. Rina hampir selalu membuang muka dariku. Begitu juice kami habis, aku spontan mengangkat tangan supaya pelayannya segera datang untuk membawakan tagihan hidangan kami.

“Totalnya empat puluh ribu rupiah, Pak.” kata pelayan sambil menyerahkan bon hidangan kami. Aku berdiri, lalu merogoh dompet, membukanya, serta mengambil empat lembar uang sepuluh ribuan yang masih segar dan wangi. “Ini uangnya, Mas.”

“Terima kasih kepada Bapak dan ibu.” kata si pelayan mengangguk penuh hormat. “Selamat melanjutkan perjalanan. Kalau sudah lelah, lebih baik beristirahat dulu.”

Aku dan Rina kembali ke mobil Esemka kami. Aku menyalakan mesin, sementara Rina yang kulirik sempat-sempatnya tertidur bersandar. Setelahnya, kami melanjutkan perjalanan menuju Pekalongan. Kulirik jam digital di dashboard. Sekarang sudah hampir jam delapan malam. Nanti bila sudah sampai di Pekalongan, mungkin kami akan mencari Hotel sekelas melati untuk bermalam, tapi aku harus meminta persetujuan Rina terlebih dahulu.

“Rina?”

“Apa to, Joni?” balas Rina seperti belum benar-benar sadar dari tidurnya. “Barusan … aku bermimpi sangat buruk, Joni.”

“Ceritakan padaku tentang mimpi burukmu.”

“Tidak bisa, Sayang.” kata-kata Rina kini lebih teratur. “Kau keberatan kupanggil begitu?”

“Tidak, Nyonya Cantik.”

“Begini aturan yang berlaku padaku, Joni. Satu, aku belum pernah menjadi Nyonya karena memang belum menikah dan kedua, cantik itu relatif bagiku.”

“Rina, aku tidak percaya kau masih sendiri. Kupikir kau melarikan diri dari suamimu.”

“Aku belum punya suami.” kata Rina. Nada suaranya kok terdengar pilu bagiku. Dia serius atau berpura-pura? Biar kuselidiki lebih lanjut nanti bila misi telah selesai.

***

Akhirnya kami tiba juga di Pekalongan sekitar pukul setengah sebelas malam. Rina memintaku untuk tidak sembarangan memilih Hotel atau tempat penginapan sementara karena dia lebih suka bila kita bermalam di SPBU saja,sekalian mengisi cadangan bensin. Aku cuma mengiyakan sebagai jawaban, tapi sebenarnya aku tak yakin untuk menginap karena aku tak mau membuang waktu percuma. Untuk sampai di Yogyakarta supaya lebih cepat, kami bisa melewati Temanggung, terus ke Magelang, tetapi bila ingin lebih lambat, Semarang perlu kita lewati. Coba kutanya Rina karena aku ingin tahu apa pendapatnya.

“Walaupun lebih lambat, aku suka melewati Semarang. Ada mantan cintaku di sana.”

“Begitu ya? Kau tidak mau lewat Temanggung?”

“Kalau pagi dan siang tidak mengapa, kalau malam begini ditambah kita berdua sudah mengantuk, sama saja bohong. Kau setuju kalau kita lewat Semarang?”

“Setuju, Rina.” kataku lalu bertanya lagi. “Sebenarnya apa keistimewaan mobil ini selain dilengkapi berbagai senjata?”

Rina tersenyum penuh misteri. Sialan, dia merahasiakan sesuatu tampaknya. Biar kugoda dia dan kukorek rahasianya itu. “Kau tahu, Rina? Seluruh pria normal pasti terpesona padamu bila kau lebih banyak tersenyum seperti itu.”

“Normalkah kau?”

Aku memasang tampang cemberut sambil menggelengkan kepala. Rina tampak sangat terkejut, lalu membuang muka. Setelah beberapa menit, dia berkata setengah bergumam. “Ada sistem kendali … setir otomatis.”

“Di mobil ini?” tanyaku tak percaya. Kupikir Rina membual.

Rina mengangguk-angguk dengan muka serius, memandangku sejenak. “Di bagian setir, terutama di tengah-tengah, tepatnya di logo Esemka. Tekan logo Esemka itu, tunggu sampai terdengar dengung pendek dan bunyi tokek, lalu lepaskan setir dari tanganmu. Coba saja, Joni.”

“Biar kucoba karena aku mulai mengantuk.” kataku menekan logo Esemka itu dengan jari telunjuk kananku. Beberapa detik berikutnya, kudengar dengung ‘huuunngg’, lalu ‘tttekkk-keeekkk!’ Setir pelan-pelan kulepas, tapi sabuk pengaman tetap kukenakan.

Setir itu bergerak-gerak sendiri ke kanan dan ke kiri, menyesuaikan lajur jalan yang telah begitu sepi, begitu juga dengan pedal gas, rem, kopling yang bisa berjalan begitu lancar. Rina menepuk pundakku dengan kegembiraan dan kebanggaan yang tampak sangat jelas di wajah cantiknya. “Ada komentar, Joni Jimmy Bi?” tanyanya menggoda.

“Sepuluh dari sepuluh, Rina! Kerja luar biasa!”

Rina mengangguk-angguk, lalu memejamkan mata. “Aku ingin tidur lagi, tapi tidak rela.”

“Kenapa tidak?”

“Karena sistem kendali setir otomatis ini baru sekali ini kuuji bersamamu. Aku khawatir kalau tidak berjalan lancar, Joni.”

“Jadi ini ujicoba pertama?”

“Ho’oh, Joni.”

Kami tidak berkata apa-apa lagi selama belasan menit berikutnya. Kendali otomatis tetap berjalan lancar, tapi aku yang sudah sangat mengantuk, masih belum berani tidur. Takut kesasar? Bisa jadi. Namun aku tidak terlalu khawatir mengetahui fakta bahwa ini ujicoba pertama kendali otomatis pada mobil Esemka ini. Edison menemukan bola lampu dalam ujicobanya yang ke-1000 dan kalau si brilian Thomas Alva itu sudah menyerah dalam ujicobanya yang pertama, mungkin kita masih hidup dalam abad kegelapan. Betul tidak?

“Tidak!” desis Rina tiba-tiba.

Walau sudah sangat mengantuk, kuputuskan untuk menggoda Rina lagi. “Apanya yang tidak?”

“Tidak tahu, Joni. Aku sering begitu akhir-akhir ini. Tiba-tiba mendesis tidak jelas tentang suatu hal yang sama sekali di luar pikiran normalku.”

“Oh, baru tahu aku kalau kau ini normal.”

“Jadi selama ini kau pikir aku abnormal. Begitukah caramu berpikir tentangku, Joni?”

“Tidak.”

“Apa-apa-apa-Apanya, Joni? Apanya, Joni? Joni Jim Bong? … Joni JIM BONG!”

“Jangan menggodaku, Rina.”

“Aku cuma membalas godaanmu padaku tadi, Joni.”

“Kurasa kantukku tak bisa kutahan lebih lama lagi. Selamat tidur, Rina.”

“Selamat tidur, Dobel-O-Joni.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun