Mohon tunggu...
Septian Ananggadipa
Septian Ananggadipa Mohon Tunggu... Auditor - So let man observed from what he created

Pejalan kaki (septianangga7@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gerimis Kecil dan Kota Besi

18 Januari 2018   11:57 Diperbarui: 18 Januari 2018   12:03 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : http://www.businessinsider.sg/

Pagi ini pusat ibukota disambut gerimis kecil, memberi sepercik kesejukan di tengah tengah kesibukan kaum urban. Setiap hari, Jakarta terasa semakin ramai, tidak hanya manusianya yang seperti berjalan otomatis bagai robot, tapi juga gedung-gedung yang tumbuh lebih cepat daripada rumput. Kota ini makin padat oleh besi yang menopang menara-menara tinggi menjulang, tidak salah kalau kemudian disebut  "kota besi" karena mungkin batang besi di kota ini lebih banyak daripada batang kayu. 

Gerimis kecil yang turun di pagi ini mungkin disambut suka cita oleh rumput dan pepohonan yang semakin terpinggirkan, selain itu manusia yang rendah hati juga menyambutnya, mensyukuri bahwa kota ini masih diberi kesejukan untuk sedikit menjernihkan pikiran.

Pembangunan sedang beradu cepat di negeri ini, termasuk di Jakarta sebagai ibukota. Meskipun saya tidak lahir di ibukota, tapi saya mulai tinggal beberapa tahun di kota ini, dan terkadang sedih melihat kota ini begitu bernafsu untuk menjadi "besar". Menara-menara tinggi semakin bertambah, rumah-rumah berdesak-desakan, hingga jalan-jalan yang dipenuhi mesin. 

Mungkin pejabat dan para petinggi industrialis negeri ini mendefinisikan "kota besar" seperti kota-kota di negara-negara adidaya. Dipenuhi gedung menjulang seperti New York? berjejer pusat perbelanjaan seperti Paris? atau penuh dengan mesin seperti Shanghai?. Tidak ingatkah kita bahwa tanah bumi ini sejatinya sangat erat bersahabat dengan makhluk hidup, seperti rumput, pepohonan, binatang, hingga manusia. Kini semakin besar suatu kota, makhluk hidup justru semakin terpinggirkan.

Zaman ini memaksa manusia harus menempuh berjam-jam dari rumahnya untuk menuju menara-menara besi di pusat kota. Rumput dan pepohonan harus rela tumbang untuk memberi tempat pada traktor. Dalam hati terdalam setiap manusia pasti merindukan alam, dan bahkan sebuah kota pun pasti merindukan memiliki hutan dan pepohonan agar kota ini masih dapat bernafas.

 Semoga suatu saat nanti kota akan lebih ramah terhadap manusia dan alam. Memang mewujudkan itu semua tidak mudah, tapi setidaknya manusia yang rendah hati dapat tetap memupuk mimpi itu dan belajar lebih ramah dengan alam mulai dari diri sendiri... Selamat pagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun