Berbicara di depan umum bukan sekadar mengucapkan kata-kata. Ia adalah seni menyampaikan gagasan, menyentuh hati, sekaligus menunjukkan keberanian diri. Bagi teman-teman tunanetra di Yayasan Teratai, public speaking menjadi salah satu keterampilan penting dalam perjalanan mereka menuju peran baru: fasilitator Art-Class Inklusif.
Sebagai bagian dari program PKM-PM Universitas Udayana, dua sesi public speaking digelar berturut-turut: Public Speaking Class #1 (1 September 2025) dan Public Speaking Class #2 (8 September 2025). Keduanya saling melengkapi, membangun proses belajar yang berawal dari dasar pola pikir hingga ke teknis penggunaan suara.
Kelas pertama dibuka dengan pemaparan materi mengenai bagaimana mengubah pola pikir agar tidak gugup saat berbicara di depan umum. Fokusnya sederhana: sebelum berbicara kepada orang lain, kita harus terlebih dahulu berbicara kepada diri sendiri.
Pertanyaan reflektif "Kenapa?" digunakan sebagai pintu masuk. "Kenapa aku harus berbicara?", "Kenapa orang lain perlu mendengarkan?"
Â
Dengan bertanya "kenapa", peserta diajak menyingkap motivasi terdalam yang memberi energi pada setiap kata. Selanjutnya, mereka diperkenalkan pada dasar retorika klasik: bagaimana menyusun narasi secara sistematis agar pesan mudah dimengerti dan lebih berdaya. Materi ini menjadi pondasi penting untuk membangun cerita saat mereka kelak tampil sebagai fasilitator.
Kegiatan tidak berhenti pada teori. Peserta melakukan observasi reflektif, meninjau kembali pengalaman mereka pada kegiatan sebelumnya (Jejak Kemampuan). Mereka belajar melihat apa yang sudah berjalan baik dan apa yang perlu diperbaiki. Kemudian, mereka mengonsepkan pengalaman tersebut melalui praktik roleplay bersama tim.
"Awalnya saya sangat gugup. Saya pikir berbicara itu soal lancar atau tidak. Tapi setelah belajar tanya 'kenapa', saya jadi sadar bahwa yang penting adalah maksud dari apa yang saya katakan," ungkap Pak Iwan, salah satu peserta.
Hasilnya: peserta mulai memahami konsep dasar public speaking, berlatih menyusun narasi, dan menemukan keberanian baru untuk tampil.
Jika kelas pertama menekankan mengapa berbicara, maka kelas kedua membahas bagaimana berbicara. Public speaking dikenal memiliki tiga dimensi: verbal, vokal, dan visual. Bagi teman-teman tunanetra, visual tentu punya keterbatasan. Namun, justru di sinilah mereka menemukan kekuatan: verbal dan vokal bisa menjadi daya ungkit utama. Materi utama kelas kedua adalah melatih keterampilan vokal. Ada lima aspek yang dipelajari:
Volume -- mengatur keras-lembut suara.
Intonasi -- memberi penekanan makna.
Artikulasi -- memperjelas pengucapan kata.
Nada -- menambahkan nuansa emosional.
Tempo -- mengatur kecepatan berbicara.
Latihan dilakukan melalui simulasi, di mana peserta dipasangkan dengan tim. Mereka mencoba mengucapkan kalimat sederhana dengan intonasi berbeda, melatih tempo agar lebih teratur, hingga mengasah artikulasi agar kata terdengar jelas.
Suasana penuh tawa dan antusiasme. Suara-suara yang semula pelan mulai terdengar mantap, suara yang tadinya datar mulai punya warna.
"Aku baru sadar, suara bisa jadi alat yang sangat kuat. Kalau nadanya tepat, orang lain bisa lebih tergerak," kata Kak Ayu dengan senyum lebar.
Hasilnya peserta mampu melatih keterampilan vokal dan mempraktikkan ilmu baru dengan membandingkan pengalaman sebelumnya. Kedua kelas ini bukan sekadar pelatihan, melainkan bagian dari rangkaian experiential learning: Dari pengalaman konkret (Jejak Kemampuan), ke observasi reflektif (merefleksikan pengalaman), menuju konseptualisasi abstrak (belajar teori public speaking), hingga eksperimen aktif (roleplay dan simulasi).
Dengan pola ini, pembelajaran menjadi lebih bermakna. Peserta tidak hanya menghafal teori, tapi benar-benar menghubungkan pengalaman pribadi dengan keterampilan baru. Dari kelas pertama hingga kedua, satu pesan terus terulang: berbicara bukan hanya soal teknik, melainkan soal keyakinan.
Keyakinan bahwa suara mereka layak didengar.
Keyakinan bahwa pengalaman hidup mereka punya nilai.
Keyakinan bahwa keterbatasan visual tidak menghalangi untuk menjadi komunikator yang kuat.
Perjalanan ini baru awal. Namun dari suara-suara yang mulai berani terdengar, kita tahu satu hal: mereka sedang menemukan cara untuk bersuara, dan dunia sedang belajar untuk mendengarkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI