Hasilnya peserta mampu melatih keterampilan vokal dan mempraktikkan ilmu baru dengan membandingkan pengalaman sebelumnya. Kedua kelas ini bukan sekadar pelatihan, melainkan bagian dari rangkaian experiential learning: Dari pengalaman konkret (Jejak Kemampuan), ke observasi reflektif (merefleksikan pengalaman), menuju konseptualisasi abstrak (belajar teori public speaking), hingga eksperimen aktif (roleplay dan simulasi).
Dengan pola ini, pembelajaran menjadi lebih bermakna. Peserta tidak hanya menghafal teori, tapi benar-benar menghubungkan pengalaman pribadi dengan keterampilan baru. Dari kelas pertama hingga kedua, satu pesan terus terulang: berbicara bukan hanya soal teknik, melainkan soal keyakinan.
Keyakinan bahwa suara mereka layak didengar.
Keyakinan bahwa pengalaman hidup mereka punya nilai.
Keyakinan bahwa keterbatasan visual tidak menghalangi untuk menjadi komunikator yang kuat.
Perjalanan ini baru awal. Namun dari suara-suara yang mulai berani terdengar, kita tahu satu hal: mereka sedang menemukan cara untuk bersuara, dan dunia sedang belajar untuk mendengarkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI