Mohon tunggu...
Sendy Ahmad Ghazali
Sendy Ahmad Ghazali Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya punya obsesi untuk menguasai tiga disiplin ilmu sekaligus, yaitu Fisika, Linguistik, dan Sosiologi. Mengenai kapan saya akan menguasai semuanya, mungkin baru akan terjadi ketika saya tua nanti. Tak masalah, hidup memang sebuah pembelajaran tiada henti.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Stratifikasi Berdasarkan Ras dan Etnisitas

7 November 2022   00:43 Diperbarui: 7 November 2022   00:44 1467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

ASPEK SOSIOLOGIS

YANG MEMICU STRATIFIKASI

BERDASARKAN RAS DAN ETNISITAS 

Stratifikasi sosial berdasarkan ras dan etnisitas menurut perspektif sosiologi hadir karena beberapa faktor, di antaranya:

  • Faktor Homofili

Homofili adalah sebuah teori sosial yang menyatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menerima hal-hal atau orang-orang yang memiliki kesamaan dengannya. Semakin sama suatu konsep atau seseorang dengan orang tersebut, maka semakin mudah baginya untuk menerimanya. Dalam hal ras dan etnisitas, sifat homofili manusia berkontribusi besar dalam memicu munculnya diskriminasi, terutama bila sifat homofili ini didukung oleh adanya kekuasaan.

  • Faktor Kekuasaan

Kekuasaan sejatinya adalah faktor sentral yang menciptakan hadirnya stratifikasi berdasarkan ras dan etnisitas. Hal ini tentu berlaku untuk segala macam ras dan etnis di muka Bumi. Namun, dalam konteks AS, kekuasaan dimiliki oleh bangsa kulit putih dari Eropa. Didukung dengan teori homofili, kekuasaan yang dimiliki bangsa kulit putih kemudian digunakan untuk memberikan keistimewaan terhadap sesama kulit putih.

  • Faktor Mayoritas

Selain faktor kekuasaan, faktor lain yang terkait erat dengan sifat homofili manusia adalah faktor mayoritas. Terutama dalam negara demokrasi, suara mayoritas selalu memiliki peranan penting dalam menciptakan kebijakan, baik itu yang bersifat formal maupun nonformal. Kita mengetahui dengan baik bahwa AS adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, mereka bahkan bisa disebut sebagi jenderalnya negara-negara 'demokrasi'. Dengan segala macam atribut yang telah saya sajikan, maka semakin jelas gambaran proses terbentuknya stratifikasi berdasarkan ras dan etnisitas di AS. Pada tahun 1960 ketika Muhammad Ali memenangkan medali emas Olimpiade, 88,6% penduduk AS berkulit putih.[2]

  • Faktor Historis

Faktor keempat yang menjadi dalang dari munculnya stratifikasi berdasarkan ras dan etnisitas di AS adalah faktor historis. Secara historis, mudah bagi kita melihat akar sejarah stratifikasi ini. Status penguasa bagi warga kulit putih sudah ada sejak lama karena merekalah yang menjadi tuan bagi para budak yang mereka beli, dan budak-budak ini adalah orang-orang kulit hitam yang 'diimpor' dari Afrika.

            Keempat faktor yang saya jelaskan berkolaborasi dengan indahnya dalam hal menindas masyarakat kulit hitam di AS, menempatkan mereka di bagian dasar kehidupan sosial. Coba bayangkan dengan imajinasi liar kita mengenai kehidupan di tahun 1960; 90% warga AS adalah orang-orang kulit putih, orang-orang kulit putih memiliki peran sebagai penduduk mayoritas Amerika Serikat.  Selain memiliki kekuatan sebagai penduduk mayoritas, orang-orang kulit putih juga menikmati kekuasaan sebagai pemimpin absolut di pemerintahan; kekuatan mereka bertambah secara eksponensial. Jangan lupa pula faktor homofili, manusia punya kecenderungan untuk menyukai manusia lain dengan berbagai macam kesamaan. 90% orang Amerika adalah kulit putih, dengan fakta ini, tentu 10% sisanya hanya akan menjadi orang luar; mereka hanyalah 10% anomali dari sebuah dunia yang dimiliki orang-orang berkulit putih. Sebagai bumbu terakhir, jangan lupakan faktor historis; orang kulit putih bisa menggunakan sejarah perbudakan sebagai justifikasi dari diskriminasi. Malah sebenarnya, penindasan yang mereka lakukan terhadap orang-orang kulit hitam secara psikologis memang terasa seperti hal yang biasa saja. Adalah normal di masa-masa itu untuk menganggap orang-orang kulit hitam sebagai bangsa kelas bawah.

 

STRATIFIKASI DI KEMUDIAN HARI

            Meski tampak mencekam, gila, dan menakutkan, tapi stratifikasi di kemudian hari berangsur-angsur mengalami perubahan. Kulit hitam tidak lagi dianggap sebagai bangsa kelas dua, mereka setara dengan penduduk kulit putih; setidaknya berlaku dalam konstitusi. Dalam praktiknya, jarak strata antara kulit hitam dan kulit putih terus dikurangi, baik itu melalui gerakan-gerakan kesetaraan maupun lewat kegiatan sehari-hari yang dilakukan secara tidak sadar. Untuk poin kedua, saya menemukan data pendukung dengan tema pernikahan. Di AS, ternyata ada peningkatan dalam hal pernikahan antarras dan etnis; termasuk pernikahan antara orang kulit hitam dengan orang kulit putih.

            Menurut data sensus, tingkat pernikahan antarras di AS pada awal tahun 1990 adalah sebesar 4,5%, kemudian meningkat menjadi 5,4% di akhir tahun. Ini merupakan sebuah peningkatan yang signifikan, yang kalau dilihat melalui data real, pernikahan antarras di AS pada saat itu meningkat dari awalnya 2,4 juta pasangan menjadi 3 juta pasangan di akhir tahun.[3] Data ini mungkin sudah berusia sangat lama, tapi sudah cukup untuk menunjukkan tren yang saya singgung di atas. Tren pernikahan antarras ini menurut saya adalah salah satu faktor penting yang akan membantu mengikis jarak strata antara ras dan etnis yang berkuasa dengan ras dan etnis yang berada di strata bawah. Pernikahan antarras dan etnisitas berimplikasi pada eliminasi pendekatan homofili dalam beberapa aspek kehidupan, semakin berimbangnya porsi penduduk tiap kelompok di dalam data sensus (karena pernikahan antarras dan etnisitas akan melahirkan manusia-manusia multiras dan multietnis), serta menyeimbangkan kekuasaan menjadi lebih merata lagi. Dalam hal kekuasaan, kita bisa melihatnya dari sosok Barrack Obama, Presiden AS pertama yang berkulit hitam.

Referensi:

[1] Adhikari, Somak. "Did You Know Muhammad Ali Was Once Not Served At A Restaurant For Being Black Despite Having Just Won An Olympic Gold?". India Times. 26 Februari 2018. https://www.indiatimes.com/sports/did-you-know-muhammad-ali-was-once-not-served-at-a-restaurant-for-being-black-despite-having-just-won-an-olympic-gold-340309.html.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun