Dilansir dari Publiknews.com, RSUD Tengku Rafi'an di Siak kembali membuat rakyat marah. Bukan hanya karena buruknya pelayanan, tetapi karena sudah terlalu sering masyarakat dipermainkan oleh sistem yang bebal, arogan, dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Ini bukan hanya cerita tentang pelayanan yang lambat ini cerita tentang penghinaan terhadap nilai kemanusiaan.
Mari kita mulai dari ucapan seorang dokter yang berkata kepada keluarga pasien: "Saya bukan dukun, Pak." Apakah ini pantas keluar dari mulut seorang profesional medis? Tidak. Ini adalah penghinaan, pelecehan, dan bentuk ketidaksiapan mental seorang tenaga medis dalam menghadapi krisis kesehatan rakyat. Orang datang ke rumah sakit bukan untuk didiamkan, bukan untuk diintimidasi, apalagi untuk dihina. Mereka datang karena butuh bantuan, dan ketika harapan disambut dengan sindiran, maka rumah sakit itu telah gagal menjadi tempat perlindungan.
Lalu, dugaan adanya praktik kotor yang melibatkan pengalihan resep ke apotek tertentu? Ini jika benar, bukan hanya tidak etis ini kejahatan. Jika ada dokter atau pihak rumah sakit yang bermain mata dengan apotek demi keuntungan pribadi, maka mereka telah menjual rasa sakit rakyat. Apakah begitu murahnya harga integritas para pelayan kesehatan kita? Jika iya, maka memang layak RSUD ini disebut "Rumah Luka Rakyat."
Yang lebih memilukan adalah kasus bayi usia 1,7 bulan yang mengalami infeksi dan pembengkakan perut, namun tidak segera dirujuk karena dinilai "tidak kritis." Ini gila. Sejak kapan nyawa bayi ditakar dengan istilah "kritis atau tidak kritis"? Kita bicara tentang nyawa manusia, bukan angka statistik di atas meja rapat. Keterlambatan penanganan medis adalah bentuk kelalaian serius, dan kelalaian dalam dunia kesehatan bisa berarti satu hal: kematian.
Dan ketika masyarakat bersuara, ketika publik mulai mencium bau busuk dari sistem ini, yang muncul dari pihak pemerintah hanya diam, bungkam, atau sekadar klarifikasi ala kadarnya. Jangan berlindung di balik dalih "anggaran terbatas." Empati tidak butuh anggaran. Komunikasi yang layak tidak butuh proyek APBD. Yang dibutuhkan adalah niat, tanggung jawab, dan keberanian untuk berbenah.
Sebagai anak daerah, saya muak melihat semua ini terjadi berulang-ulang. Cukup sudah rakyat kecil dijadikan korban. Saya mendesak agar:
1. Dilakukan reformasi total terhadap manajemen dan SDM RSUD Tengku Rafi'an.
2. Bentuk tim independen yang bekerja tanpa tekanan dan kepentingan. Jangan libatkan mereka yang sudah terbiasa "main aman" di balik meja.
3. Audit menyeluruh dan terbuka terhadap penggunaan anggaran rumah sakit.
4. Sanksi tegas dan pemecatan terhadap tenaga medis atau manajemen yang terbukti menyalahgunakan kewenangan atau memperlakukan pasien secara tidak manusiawi.
Kita harus bicara jujur: RSUD Tengku Rafi'an bukan sekadar gagal ia telah menjadi simbol pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Dan jika pemerintah daerah tidak bertindak cepat dan tegas, maka jangan salahkan rakyat jika suatu hari nanti mereka memilih jalan perlawanan sendiri.
Jangan pernah remehkan kemarahan rakyat yang merasa diperlakukan tidak adil, apalagi ketika yang dipertaruhkan adalah nyawa orang yang mereka cintai. Ini bukan sekadar tuntutan ini peringatan.
Siak butuh perubahan. Bukan perubahan kosmetik, tapi perubahan menyeluruh dan menyakitkan bila perlu. Karena hanya dengan keberanian dan kejujuran, kita bisa mengembalikan marwah negeri ini.
Saya akan terus bersuara, karena diam artinya ikut bersalah. Jika hari ini saya yang bersuara, mungkin besok akan ada ratusan suara lain yang ikut menyala. Dan jika pemerintah tidak juga mendengar, maka suara-suara itu akan berubah menjadi gerakan. Dan ketika gerakan itu meledak, tidak ada yang bisa menahannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI