Mohon tunggu...
Senada Siallagan
Senada Siallagan Mohon Tunggu... Penulis - Berpikir Out of The Box
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Telinga dan Lidah Seorang Murid

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak Kelinci dan Ibunya

7 Maret 2021   20:31 Diperbarui: 7 Maret 2021   22:21 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan di sore hari baru saja reda, namun masih tetap saja gerimis. Di ufuk timur tampak pelangi nan indah. Berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu yang sangat indah. Di tepi sungai Rebo tampak ibu kelinci dan anaknya sedang duduk. Mereka memandangi pelangi indah itu. Mereka sangat senang bisa melihat pelangi sore itu.

            "Pelangi itu benar-benar indah ya, bu," ucap anak kelinci.

            "Benar. Kamu senang melihatnya?" tanya ibu kelinci.

            "Tentu! Kata orang, benarkah pelangi itu pertanda ada bidadari yang sedang mandi?"

            "Itu hanya dongeng. Kenyataannya tidak seperti itu."

            "Lalu, apa sebenarnya pelangi itu?"

            "Pelangi itu, cahaya matahari yang diuraikan oleh titik-titik air hujan".

            "Jadi, warna cahaya matahari yang tampak putih itu sebenarnya berwarna-warni?"

            "Benar."

            "Tetapi ibu juga pernah bilang bahwa pelangi berarti pertanda baik. Benarkah, itu?"

            "Ya, karena dengan pelangi ada janji. Dibalik gelapnya langit karena hujan, akan memberi keindahan. Nak, mari pulang." Ajak ibu.

            "Ibu pulang saja dulu. Aku masih ingin menikmati keindahan pelangi itu."

            "Baiklah. Tetapi, segeralah pulang."

            Anak kelinci mengangguk mantap. Ibu segera pergi. Tidak lama setelahnya, seekor buaya keluar dari dalam sungai. Buaya itu mengendap-endap mendekati anak kelinci. Sebaliknya si anak kelinci sama sekali tidak menyadari adanya bahaya. Ia masih asyik menikmati keindahan pelangi. Buaya yang kelaparan semakin mendekatinya. Tetapi, ketika buaya hendak menangkap anak kelinci, harimau datang. Dengan auman keras, ia menghalangi buaya yang akan menangkap anak kelinci. Buaya pun terkejut dan marah. Tetapi ia tidak berani kepada harimau.

            "Tuan, terima kasih," anak kelinci berucap dengan bibir gemetar. Ia sebenarnya sangat takut kepada harimau. Selamat dari mulut buaya, jatuh ke mulut harimau. Apa artinya? Ujarnya dalam hati.

            "Sudahlah. Lain kali berhati-hati kalau sedang bermain. Jangan berada di tempat berbahaya. Hari sudah sore. Segeralah pulang! Sahut harimau sambil terus melangkah pergi. Anak kelinci pun lega rasanya. Ia heran, mengapa harimau yang biasanya buas, tiba-tiba sore itu tampak ramah dan bersahabat? Ia bergegas pulang. Di sepanjang perjalanan ia mengumpat pada dirinya sendiri. Mengapa diajak pulang ibu tidak mau? Untung ada harimau yang baik. Jika tidak, mungkin ia sudah jadi santapan buaya. Ia menyesal.

            Tiba di rumah, ia menceritakan peristiwa itu pada ibunya. Ibunya terkejut mendengar tutur kisah anaknya.

            "Nak, kamu sangat beruntung. Buaya itu sungguh buas. Ia juga rakus," tutur  ibu kelinci.

            "Tetapi harimau itu juga sangat buas. Ia juga kuat," kata anak kelinci pula.

            "Buaya dan harimau memang sama-sama buas. Tetapi ada bedanya. Sekalipun buas, harimau tidak mau sembarang terkam. Buktinya ia tidak menerkam kamu, bahkan melindungimu. Lain dengan buaya. Pokoknya bisa dimakan, pasti diterkamnya. Tidak peduli apakah itu halal atau haram. Bahkan ia suka makan barang yang sudah busuk," ujar ibu kelinci lagi.

            "Mengapa begitu, ya?" gumam anak kelinci.

            "Itu menandakan buaya sangat rakus, serakah. Nah, kelak kamu dewasa jangan punya sifat seperti itu. Sekarang tidurlah!"

            Anak kecil pun menurut kata ibunya. Sejak kejadian sore tadi, ia berjanji tidak suka membantah kata-kata ibunya. Semua nasihat orang tua, akan berusaha dipatuhinya. Keesokan harinya anak dan ibu kelinci itu pergi mencari sayur-mayur. Kebetulan di sepanjang tepian sungai Rebo banyak tumbuh kangkung liar. Ke situlah mereka mencari. Ketika sampai di tanggul sungai, tiba-tiba anak kelinci menghentikan langkahnya.

Sang ibu pun bertanya, "Mengapa berhenti? Kita sudah sampai. Lihatlah kangkung-kangkung itu! Hijau dan subur. Kita  makan besar hari ini. Mari bantu ibu memetik!" pinta ibu kelinci sembari terus menuruni tepian sungai Rebo.

Tetapi aneh, anak kelinci tidak segera menuruti perintah ibu. Ia diam saja di atas tanggul.

"Hee.. cepat bantu ibu! Turunlah!" panggil ibunya.

"Tidak, bu. Aku di sini saja," jawab anak kelinci.

Sang ibu pun heran. Mengapa anaknya tidak mau membantunya? Biasanya ia selalu bersemangat. Tetapi mengapa pagi itu kelihatan malas? Tetapi rupanya sang ibu tidak begitu memaksa. Biarlah anaknya tidak mau membantu. Ia memetiknya sendiri. Setelah dirasa cukup, sang ibu kelinci mengajak anaknya pulang.

"Bu, biar aku yang membawanya," ucap anak kelinci. Sang ibu pun memberikan separuh kepada anaknya.

"Mengapa kamu tidak mau membantu memetik tadi?" tanya ibu kelinci.

"Aku takut," jawab anak kelinci singkat.

"Takut buaya?"

"Tentu saja. Tuan harimau bilang, tempat itu bahaya."

"Benar. Tetapi kita juga tidak boleh lapar. Kita perlu makan. Sekalipun berbahaya, ibu tetap memetiknya?"

"Kalau ada buaya?"

"Asal kita berhati-hati, kita selamat. Karena itu jika kamu tadi mau membantu ibu, mungkin kita bisa mendapatkan lebih banyak lagi. Cukup untuk makan dua atau tiga hari."

"Ah, ini sudah cukup. Lagi pula untuk apa kita menyimpan makanan terlalu banyak? Bisa kering percuma."

"Ah, sudahlah!" kata ibu kelinci agak kesal.

Kedua ibu dan anak itu semakin mempercepat langkahnya. Mereka ingin cepat sampai di rumah. Mungkin perut mereka sudah mulai bernyanyi. Sejak pagi belum makan. Tapi langkah mereka terhenti karena mendengar suara harimau mengaum-aum. Suara itu menyeramkan. Ternyata tidak jauh dari tempat mereka berjalan, ada beberapa ekor harimau sedang berebut makanan.

"Ibu, itu tuan harimau yang kemarin menolongku," kata si anak kelinci berbisik.

"Maksudmu, yang sedang makan itu?" tanya ibu.

"Benar. Wah, ternyata tuan harimau yang pernah menolongku itu serakah ya, bu."

"Maksudmu?"

"Karena makanan sebanyak itu dimakannya sendiri. Lihat! Harimau yang lain tidak boleh mendekat. Bergerak sedikit saja sudah dibentaknya," tutur anak kelinci.

"Kamu keliru. Tuan harimau ituukan begitu wataknya."

"Menurut ibu?!"

"Tunggulah sebentar lagi!"

Si anak kelinci pun setuju. Dari rerimbunan semak, ibu dan anak kelinci itu mengamati gerak-gerik harimau-harimau itu. Semua ada tiga ekor harimau. Satu ekor harimau sedang makan. Sedang yang dua ekor lagi, mondar-mandir tidak jauh dari tempat itu. Tampaknya, dua ekor harimau itu tidak ingin pergi dari tempat itu.

"Mengapa begitu?" tanya anak kelinci dalam hati.

Tidak berapa lama, harimau yang sedang makan pun pergi. Padahal makanan masih banyak. Mungkin hanya sepertiga saja yang telah dimakannya. Sisa makanan itu ditinggalkan begitu saja. Karena ada makanan yang ditinggalkan oleh pemiliknya, dua ekor harimau yang lain pun datang berebut. Ramailah jadinya. Kedua harimau itu saling cakar, saling gigit. Ternyata harimau besar yang menang.

Dan dialah yang memakan makanan itu. Harimau yang kalah terpaksa menunggu lagi beberapa saat. Ia tidak mau pergi sebelum makanan itu habis. Seperti harimau sebelumnya, harimau itu pun pergi begitu saja. Makanan belum habis. Sekalipun yang enak sudah habis, tetapi ada sisa makanan yang masih bisa dimakan. Dan, harimau yang kalah yang makan sisa makanan itu.

Tiba di rumah, si anak kelinci bertanya pada ibunya. Peristiwa yang dilihatnya ketika pulang mencari sayuran membuat hatinya penasaran.

"Tingkah para harimau itu aneh ya, bu," kata anak kelinci.

"Menurut ibu itu bukan hal yang aneh. Coba ingat. Harimau itu mencari mangsa dengan bersusah payah. Setelah berhasil tentu ingin menikmatinya. Setelah kenyang, ia tidak ingin menyimpannya. Makanan yang tidak habis itu ditinggalkan begitu saja. Sebelum perutnya merasa kenyang, tak seorangpun boleh mengganggunya. Dipertahankan mati-matian makanan itu," tututr sang ibu kelinci.

"Lalu mengapa dua ekor harimau yang lain harus bertarung lebih dulu? Kok tidak memakannya bersama-sama?"

"Hukum rimba begitu, nak. Siapa yang kuat, dia yang menang. Dang yang menang itu yang berkuasa. Maka, untuk memperebutkan makanan tidak ada cara lain selain bertarung. Yang menang biasanya yang kuat dan berhak makan lebih dulu."

"Benar. Setelah harimau yang menang itu kenyang, pergi. Barulah harimau yang kalah makan sisanya," sahut anak kelinci.

"Sekarang mungkin kamu bisa membandingkannya dengan buaya. Bagaimana menurutmu?" tanya ibu kelinci.

"Ternyata harimau itu sekalipun buas, tetapi tidak rakus dan serakah. Lain halnya dengan buaya," jawab anak kelinci.

"Benar. Harimau tidak mau makan kalau bukan miliknya. Jika makan cukup sekenyangnya saja. Kalau sudah kenyang, sisanya diberikannya kepada yang lain. Tidak pernah harimau menyimpan makanan sisa. Lain dengan buaya. Yang lain tidak pernah diberinya. Selalu dimakannya sendiri," kata ibu kelinci.

"Wah ternyata secara kebetulan kita mendapat sesuatu yang berharga ya, bu."

"Ya. Dan kamu dapat memilih yang baik dari yang buruk. Kamu juga mencontoh yang  baik dan membuang yang buruk. Nah, sekarang makanan sudah siap. Makanlah! Ingat, jangan sampai terlalu kenyang. Nanti perutmu sakit.

Sejak saat itu, anak kelinci selalu berhati-hati jika keluar rumah. Ia juga tidak mudah menilai teman. Sebab teman yang tampak seperti jahat, ternyata baik hati dan sebaliknya. Kini, ia menjadi suka bekerja keras. Jika kebetulan mempunyai makanan lebih, ia selalu memberikannya kepada yang lain. Jika bertemu dengan harimau kini tidak takut lagi. Bahkan kelinci sering minta perlindungan harimau dari ancaman buaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun