Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Orang Merdeka

22 Juni 2020   08:44 Diperbarui: 22 Juni 2020   09:10 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
STOCKPHOTO.COM/TATYANA BEZRUKOVA

Pendidikan dewasa ini terasa kehilangan substansi, kehilangan spirit idealnya, seolah-olah tersandera oleh kebutuhan-kebutuhan praktis. Dunia pendidikan berlomba menghasilkan para tukang yang akan dipekerjakan pada industri-industri. Link and match menjadi rumus mujarab kolaborasi dengan industri. 

Ini sebuah perangkap yang meringkus kebebasan manusia. Akhirnya, dunia pendidikan tidaklah menghasilkan orang-orang bebas melainkan para kuli. Itulah sebabnya, mulai muncul gagasan untuk menghidupkan Liberal Arts.     

Liberal Arts (LA) merupakan bentuk pendidikan ideal yang sangat tua. Lantaran idealnya itu para pengelola Pendidikan Tinggi suka mengaitkan institusinya dengan LA, kerap untuk mengkamulfase keterikatannya pada tugas meramu menu-menu spesial kurikulum untuk disuguhkan kepada "tuan pemilik kerja."  

Bisa saja, merujuk visi misi agung instutusi LA memang sebagai spirit & fondasi spiritual dari lembaga-lembaga pendidikan itu. Namun, kendala praxis yang tak terhindarkan adalah darimana institusi mendapatkan dana (termasuk mahasiswa) bila tidak menjamin para lulusannya memperoleh pekerjaan? 

Lebih-lebih lagi, pekerjaan bergengsi dengan prospek pendapatan besar? Inilah lingkaran tak berujung yang mengikat leher para pengelola institusi maupun "konsumen" pendidikan.

Di sini LA laksana pacar ideal yang dirindukan, namun apa lacur telah terikat perjodohan. Sebuah ironi bahwa pendidikan telah tdk bebas. Ia terjebak menjadi hamba yang selalu dalam upaya memikat hati tuannya: mempercantik diri, baik melalui kurikulum, silabus, strategi marketing, branding, dan sejenisnya.

Meski baru berkembang di abad Renaissance, LA sebenarnya 'tradisi pendidikan' Yunani-Romawi.  Bahkan, di Yunani telah dimulai abad 8 SM. Dalam tradisi itu, pendidikan Artes Liberales, sebagaimana konsep itu diasalkan, merupakan pendidikan yang dilayakkan hanya bagi free persons. 

Penekanan pada free person secara konteks supaya dibedakan dari para budak yang hidupnya se-mata-mata mengabdi total bagi tuannya. Karenanya, para budak hanya diajarin keterampilan  praktis (itu pun kalau dianggap perlu) terkait tugas-tugas pokoknya saja melayani tuan.  Sementara, orang-orang  merdeka perlu dipersiapkan dengan pendidikan karakter dan perlengkapan intelektual agar menjadi pemimpin yang berkontribusi bagi kemanusiaan & kehidupan.

Pendidikan Liberal Arts memiliki akar historis yang kuat tertanam di era Renaisance, sebuah massa dimana LA berkembang sangat pesat melalui sistem skolastik. Ketika itu muncul tokoh-tokoh yang karyanya banyak menginspirasi, bahkan menentukan arah kebudayaan dan peradaban di masa-masa selanjutnya. Sebut saja sejumlah nama berdasarkan bidang yang dikontribusikannya.

Bidang Seni dan Arsitektur memunculkan paling banyak tokoh terkenal, antara lain Raphael (Raffaello Sanzio), Leonardo da Vinci, Antonello da Messina, Giotto di Bondone, Sandro Botticelli, Donato Bramante, Andreas Vesalius, dan masih banyak lagi. 

Pengarang/Sastra: Andrea Alciato, Torquato Tasso, dan William Shakespeare. Dari bidang Matematika lahir tokoh-tokoh kaliber seperti Isaac Newton, Petrus Apianus, Johannes Kepler, John Napier, William Oughtred, Luca Pacioli, dan lainnya.

Bidang filsafat:  Isaac Newton, Francis Bacon, Giordano Bruno, Nicolaus Copernicus, Ren Descartes, Niccol Machiavelli, Robert Boyle dan lainnya. Belum lagi para composer besar seperti Gilles Binchois, William Byrd, Adrian Willaert. Lalu para Penjelajah atau Navigator terkenal seperti John Cabot, Christopher  Columbus, Vasco da Gama, Ferdinand Magellan, dan masih banyak lagi.  

Mereka tidak mempelajari "ilmu-ilmu khusus atau jenis vokasional tertentu," melainkan dikenali sebagai orang-orang yang haus pengetahuan, lalu menjelajahi dan mengobservasi berbagai sumber pengetahuan. 

Mereka generalis, tetapi juga memiliki keahlian khusus, yang  justru dilingkupi pengetahaun dasar generalis itulah karya-karya mereka menjadi unik, berdampak, dan seolah abadi. Keunikannya adalah, ciri dari karya-karya mereka sangat kaya perspektif disebabkan luasnya wawasan dan kuatnya pendekatan multi-aspek. 

Bagaimana kurikulumnya? Di era antik, LA  mengenal 3 tahap. Tahap pertama meliputi tiga subyek, karenanya disebut trivium. Ketiganya adalah Grammar, Rhetoric, dan Logic. Diikuti tahap berikutnya meliputi empat subyek atau  quadrivium, yaitu  Aritmetika, Geometri, Musik dan Astronomi. Tahap terakhir Filsafat dan Teologi.   

Di era modern ini, secara umum LA mencakup bidang-bidang:

  • Himanity:  Art, Literature, Linguistic, Philosophy, Religion, Ethics, Modern Foreign Langauge, Music, Theater, Speech, Classical Langauges
  • Social Sciences: History, Psychology, Law, Sociology, Politics, Gender Studies, Anthropology, Enonomic, Geography, Business Informatics, etc
  • Natural Science: Astronomy, Biology, Chemistry, Physics, Botany, Archeology, Zoology, Geology, Earth Science, etc
  • Formal Science: Mathematics, Logic, Statistics. Etc

LA meenyediakan pendidikan dengan pengetahuan-pengetahuan dasar dan umum, tidak terjebak dalam kotak-kotak keilmuan atau profesi.  

Pertanyaannya lalu, mau kerja dimana lulusannya? Ini bukanlah jenis pertanyaan yang relevan dalam LA, pendidikan untuk para free person, namun layak diajukan. 

Sejumlah informasi menyebutkan bahwa para lulusan LA diminati industri juga, lantaran mereka luwes, fleksibel, berwawasan luas sehingga dapat menangani masalah-masalah kompleks dan mudah beradabtasi.

Mereka juga dapat menangani berbagai jenis pekerjaan. Sebuah data menyebutkan alumni perguruan tinggi seni liberal di AS mencakup 20% dari semua Presiden AS dan 1 dari antara setiap 12 CEO di AS.

Intinya, hanya orang merdeka yang memilih LA. Merekalah pemimpin masa depan yang membekali diri dengan wawasan dan skill holistik serta kemampuan mentransformasi masayarakat dan dunia. 

Apabila kita ingin menciptakan generasi-generasi masa depan yang memiliki visi dan jiwa keperintisan, pemikir-pemikir yang penuh inspirasi, maka sudah saatnya pemerintah mengembangkan LA. Kalau tidak, kita hanya akan menghasilkan generasi kuli, dan masa depan apa yang bisa terbayangkan?  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun