Mohon tunggu...
sintesais
sintesais Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Fatum Brutum Amorfati

Makhluk bersari-pati tanah yang diselundupkan oleh Sang Maha Pengedar untuk memberlangsungkan hidupnya kembali ke bumi, setelah sekelibet diperlihatkan surga-Nya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Objek Itu Bernama Perempuan; dari Humor Seksis hingga Normalisasi Pelecehan

8 Maret 2021   16:59 Diperbarui: 8 Maret 2021   18:15 1361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapa Harus Perempuan?

Setahun ke belakang hingga sekarang, sejak orang-orang "dirumahkan" dan semua kegiatan harus dilakukan secara daring. Entah mengapa, pelecehan seksual khususnya terhadap perempuan malah semakin menjadi-jadi. 

Hal ini dikonfirmasi oleh Komnas Perempuan, yang melaporkan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di tahun 2020—terhitung sampai Oktober— ada 659 kasus, berbanding sangat jauh dengan 2019 (281 kasus), dan 2017--18 (masing-masing 97 kasus). Data tersebut mengindikasikan bahwa secara signifikan KBGO telah meningkat lebih dari 500% sejak terjadinya pandemi Covid-19.

Dari sini dapat kita temui sebuah premis; lini masa telah menjadi "rumah baru" bagi para pelaku pelecehan seksual. Jika zaman dulu pelecehan dilakukan oleh 'gang' pria di tepian jalan raya berupa desas-desus ataupun secara terang-terangan melecehken, maka aktivitas itu kini berpindah tempat dan berubah bentuk, yaitu di kolom komentar media sosial. Kita ambil contoh sederhana; penggunaan istilah "betina" yang ditujukan kepada perempuan, pertanyaannya apa pantas penyejajaran kata wanita dengan betina yang konotasinya untuk hewan?

Kemudian ada lagi, dengan pola kalimat yang diawali "Ada yang...." lalu ditimpal dengan sebuah kalimat lagi dengan awalan negasi; "Tapi bukan... ." Seperti: "Ada yang besar, tapi bukan harapan" atau "Ada yang bulat, tapi bukan tekad" dan semacamnya. Meskipun kedua hal tersebut merupakan 'lucu-lucuan,' namun objek lelucon sering disandarkan pada wanita dan tubuhnya. Bahkan hal ini bukan baru terjadi, sejak zaman sekolah dulu telah berkembang 'humor' rendahan seperti ini, salah satunya "Ah lo mah Relaxa. Iya, Relaxa,alias rela diperkosa."

Tapi selalu saja, pelecehan yang marak terjadi seperti ini senantiasa 'bertopeng-kan' humor. Dan anehnya, perempuan selalu menjadi objeknya, yang imbasnya secara tidak langsung telah/akan menciptakan sikap misoginis dan membentuk budaya patriarki dalam masyarakat kita. Atas dasar inilah saya memandang bahwa ada kesalahan yang telah lama hadir di dalam budaya kita, dengan membudi-dayakan humor seksis yang hakikatnya men-diskriminasi.

Linimasa, Humor Rendahan, dan Normalisasi Pelecehan

Pola kalimat dengan konotasi meng-intervensi dan menjadikan perempuan sebagai objek semacam tadi bukanlah hal baru, namun juga bukan berarti harus "di-normalisasi." Ini yang perlu digaris-bawahi "normalisasi" atau menganggap bahwa hal itu terbiasa. Karena jika hal tersebut sudah dianggap biasa, maka mereka yang menertawakan dan mengatakannya telah turut memperpanjang kebenciaan terhadap perempuan, yang puncaknya akan semakin marak terjadi kasus diskriminasi perempuan.

Karena dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Western California University menunjukkan bahwa orang yang kerap terpapar humor seksis dapat menyebabkan orang tersebut menoleransi perilaku memusuhi dan mendiskriminasi perempuan (misoginis). Tak hanya itu, ditemukan juga bahwa orang-orang yang sering melakukan jokes seksis juga cenderung setuju dengan pemotongan dana bagi organisasi perempuan.

Artinya selain humor dapat membuat tertawa—meskipun secara esensi tidak lucu sama sekali,— tapi juga berpengaruh pada penentuan sikap dan sifat seseorang. Tapi sayangnya, humor seksis ini masih tetap marak dilakukan, bahkan oleh public figure. 

Dalam sebuah cuitan di Twitter, salah seorang pengguna mem-post sebuah video pertandingan bola, dan salah seorang komentator ketika kamera diarahkan ke tribun yang berisi para suporter perempuan, ia melontarkan kalimat "Ada yang besar, tapi bukan harapan bung A (nama komentator lainnya)." Dan teman komentator lainnya ini, memberikan respon dengan tertawa. Hal ini mengindikasikan bahwa jokes seksis sudah dianggap normal atau biasa.

Tentu, mungkin dari sebagian kita ada yang tidak setuju. Dengan mengucapkan, misal "Salah sendiri punya payudara big size" atau "Salah sendiri pake pakaian terbuka." Tapi jokes ini bukan saja terjadi pada perempuan yang berpakaian terbuka, bahkan juga dengan yang tertutup; dan tidak saja pelecehan terjadi pada wanita yang memiliki payudara berukuran besar saja, tapi juga dengan yang normal. 

Dua orang teman saya memberi kesaksian, bahwa kadang ia malu untuk mem-post dirinya. Katanya ia sering mendapat komentar-komentar dan pesan-pesan negatif.  Dan bahkan satunya lagi, ia suatu waktu pernah di-dm (direct massage) oleh para pelaku dan mengajak korban untuk melakukan hubungan badan.

Stop Jokes Seksis = Stop Diskriminatif

Kesalahan terbesar bagi Tuhan dalam penciptaan manusia adalah dengan menghadirkan perempuan di muka bumi. Begitulah kira-kira representasi saya pribadi, ketika banyak sekali humor-humor rendahan—dengan menempatkan perempuan sebagai objek— khususnya di lini masa. 

Entah dogma langit dari mana yang diamalkan, yang men-segmentasi martabat seorang insan ke dalam hierarki sosial 'abal-abal' itu; dengan menempatkan strata wanita di bawah laki-laki. Mengapa saya berkata seperti itu? Karena dari banyaknya lelucon tersebut, yang menjadi objek adalah perempuan. Secara tidak langsung ini menempatkan perempuan kastanya,  di bawah laki-laki, bukan?

Jika yang menjadi apologi nya adalah humor, saya rasa tidak pantas perempuan dijadikan sebagai objek humor. Dan hal ini hanya akan melanggengkan sikap misoginis dan perbuatan diskriminasi terhadap perempuan. Toh, di satu sisi memang, kamu (re: kita) memiliki hak yang sama untuk berbicara dan melakukan apapun sekehendak diri. Namun juga di sisi lain, ada kewajiban kamu sebagai seorang manusia untuk me-manusia-kan manusia lainnya, salah satunya, dengan menjaga perasaan seseorang serta memikirkan ucapan sendiri apa sudah pantas untuk diutarakan dan tidak menyakiti orang lain?

Maka dengan menarik humor sampah dari perederan publik, adalah juga menarik diri (re: masyarakat) kita agar tidak tenggelam ke dalam budaya patriarki dan lobang hitam diskriminasi perempuan, yang mana jika saja semua orang telah mengerti bahwa sesama manusia harus saling menghargai dan mengashi—salah satunya dengan tidak menggunakan jokes seksis. Tentu kita telah menciptakan sebuah harmonitas antar gender di kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun