Di era modern seperti sekarang, dunia tengah memasuki masa di mana teknologi berkembang dengan sangat cepat. Hampir setiap aspek kehidupan kini bergantung pada kemajuan teknologi, mulai dari komunikasi, transportasi, pendidikan, hingga bidang kesehatan. Di satu sisi, kemajuan ini membawa kemudahan luar biasa bagi manusia. Namun di sisi lain, kami merasa perkembangan yang begitu pesat ini juga menimbulkan pertanyaan besar: apakah manusia akan perlahan tergantikan oleh mesin?
Faktanya, banyak bidang pekerjaan yang dulu memerlukan tenaga manusia kini mulai digantikan oleh robot dan sistem otomatis. Di pabrik-pabrik besar, robot mampu bekerja tanpa lelah selama 24 jam penuh. Di restoran cepat saji, pesanan kini bisa dilakukan melalui layar sentuh tanpa perlu kasir. Bahkan di dunia medis yang seharusnya paling manusiawi, kini muncul teknologi operasi yang tidak lagi dilakukan langsung oleh tangan manusia, melainkan oleh robot yang dikendalikan dari jarak jauh. Fenomena ini membuat kami bertanya-tanya, apakah efisiensi benar-benar sebanding dengan rasa aman dan empati yang hanya bisa dimiliki manusia?
Salah satu teknologi yang menarik perhatian kami adalah telesurgery, yaitu operasi jarak jauh menggunakan bantuan robot. Teknologi ini pertama kali dikenal luas setelah dilakukan di beberapa negara maju, termasuk di Tiongkok. Dalam sistem ini, dokter tidak lagi berada langsung di ruang operasi, melainkan mengendalikan alat robotik melalui monitor dan jaringan internet berkecepatan tinggi. Robot inilah yang kemudian melakukan gerakan operasi dengan sangat presisi sesuai arahan dokter. Jika dilihat dari sisi teknologi, tentu hal ini sangat menakjubkan. Manusia berhasil menciptakan mesin yang mampu meniru gerakan tangan seorang ahli bedah dengan akurat dan stabil, bahkan tanpa rasa lelah sedikit pun.
Namun di balik kecanggihannya, kami justru merasa ada hal yang perlu dicermati lebih dalam. Bayangkan saja, seorang pasien yang sedang terbaring di meja operasi, dan bukannya dokter sungguhan yang menyentuh tubuhnya, melainkan alat-alat besi yang digerakkan dari jauh. Secara logika, memang teknologi ini dibuat untuk efisiensi dan mengurangi risiko kesalahan manusia. Tapi kami berpikir, bagaimana jika terjadi delay pada jaringan internet saat operasi sedang berlangsung? Bukankah itu bisa sangat berbahaya? Dalam dunia medis, sepersekian detik saja bisa menentukan hidup dan mati seseorang. Jadi jika koneksi terputus atau robot mengalami gangguan sistem, konsekuensinya bisa fatal dan tidak bisa diperbaiki dalam waktu singkat.
Kami pernah membaca laporan bahwa telesurgery memang pernah berhasil dilakukan di Tiongkok dan beberapa negara lain. Dalam beberapa kasus, operasi berjalan sukses tanpa hambatan berarti. Akan tetapi, bukan berarti teknologi ini bebas risiko. Banyak dokter ahli yang masih merasa ragu karena tidak ada jaminan bahwa sistem robotik ini bisa bekerja dengan sempurna setiap saat. Bahkan dengan dukungan jaringan terbaik sekalipun, selalu ada kemungkinan error yang sulit diprediksi. Robot memang tidak lelah dan tidak ceroboh seperti manusia, tetapi robot juga tidak punya intuisi dan naluri, dua hal penting yang sering kali menjadi penentu keputusan dalam ruang operasi.
Kami juga melihat hal ini dari sisi moral dan sosial. Ketika robot mulai mengambil alih pekerjaan manusia, akan ada banyak tenaga kerja yang kehilangan peran. Seorang dokter bedah yang menghabiskan bertahun-tahun belajar dan berlatih mungkin suatu hari hanya akan menjadi pengawas layar monitor. Keahlian tangan manusia yang dulunya menjadi simbol penyelamat nyawa kini bisa tergantikan oleh mesin. Rasanya ironis ketika alat yang seharusnya membantu justru berpotensi menggeser nilai kemanusiaan itu sendiri. Sebab menjadi dokter bukan hanya soal keahlian teknis, tetapi juga tentang kehadiran manusia yang mampu memberi rasa tenang, harapan, dan empati kepada pasiennya.
Selain itu, penggunaan telesurgery juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Tidak semua rumah sakit memiliki dana atau akses terhadap teknologi secanggih ini. Akibatnya, hanya rumah sakit besar di kota-kota tertentu yang bisa menerapkannya, sementara daerah dengan keterbatasan infrastruktur akan semakin tertinggal. Bukannya memperluas akses kesehatan, justru bisa menciptakan kesenjangan baru antara rumah sakit modern dan rumah sakit kecil. Padahal tujuan sejati dari kemajuan teknologi seharusnya adalah pemerataan manfaat, bukan menciptakan jurang baru antara yang mampu dan yang tidak mampu.
Kami tidak menolak kemajuan teknologi. Kami justru kagum pada kemampuan manusia yang bisa menciptakan hal luar biasa seperti telesurgery. Tetapi kami juga percaya bahwa teknologi seharusnya digunakan untuk membantu manusia, bukan menggantikannya sepenuhnya. Dalam dunia medis, faktor empati, perhatian, dan rasa tanggung jawab tidak bisa digantikan oleh sistem otomatis. Dokter bukan hanya bekerja dengan tangan, tetapi juga dengan hati. Ada hubungan emosional antara dokter dan pasien yang tidak akan pernah bisa dimiliki oleh mesin. Sentuhan tangan, tatapan penuh keyakinan, atau ucapan "tenang saja, saya di sini" memiliki kekuatan psikologis yang jauh lebih besar daripada presisi sebuah alat.
Kami juga sempat membayangkan situasi darurat, misalnya ketika dua pasien berada dalam kondisi kritis secara bersamaan. Apakah robot bisa mengambil keputusan secepat manusia? Apakah robot bisa menilai mana pasien yang lebih membutuhkan pertolongan segera? Jawabannya tidak. Robot hanya bergerak sesuai program, sedangkan manusia bisa menimbang, berpikir, dan bertindak dengan perasaan. Itulah yang membuat kami percaya bahwa sehebat apa pun teknologi, tetap ada batas yang tidak bisa dilampaui.
Selain itu, perkembangan seperti telesurgery juga membawa pertanyaan baru: apakah generasi muda masih diajarkan untuk menjadi dokter yang penuh empati, atau hanya diajarkan untuk mengoperasikan mesin? Jika nilai kemanusiaan semakin hilang dari dunia medis, maka profesi dokter akan kehilangan maknanya. Padahal, sejak awal, menjadi dokter berarti mendedikasikan diri untuk menyelamatkan nyawa, bukan sekadar menjalankan pekerjaan. Teknologi boleh mengambil alih sebagian peran, tapi semangat kemanusiaan tetap harus menjadi pusat dari setiap inovasi.
Mungkin suatu hari nanti telesurgery akan menjadi hal yang umum, dan robot akan menjadi tangan kanan para dokter di seluruh dunia. Tapi bagi kami, teknologi ini tetap membutuhkan pengawasan langsung oleh manusia. Karena secanggih apa pun mesin, tetap ada sisi rapuh yang bisa menimbulkan bahaya jika dibiarkan bekerja tanpa kendali. Kami setuju bahwa inovasi harus terus dikembangkan, tapi kami juga yakin bahwa kemanusiaan tidak boleh hilang hanya demi mengejar efisiensi.
Pada akhirnya, kami menyimpulkan bahwa perkembangan teknologi seperti telesurgery memang membuka babak baru dalam dunia kedokteran, namun tidak sepenuhnya bisa disebut berhasil. Keberhasilan bukan hanya diukur dari seberapa canggih alatnya, melainkan dari seberapa aman, efektif, dan manusiawi prosesnya. Robot mungkin bisa menggantikan tangan manusia, tapi tidak bisa menggantikan hati dan tanggung jawab yang dimiliki manusia.
Kami tidak buta terhadap kemajuan zaman, dan kami tidak menolak perubahan. Kami menghargai inovasi, tapi kami juga memilih untuk memanusiakan manusia. Sebab pada akhirnya, sehebat apa pun teknologi, yang membuat dunia ini tetap hidup adalah nilai kemanusiaannya. Teknologi mungkin bisa menggerakkan mesin, tapi hanya manusia yang bisa menggerakkan hati. Dan selama hati masih dibutuhkan dalam dunia medis, manusia tetap tidak akan pernah tergantikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI