Mohon tunggu...
Vicky Verry Angga
Vicky Verry Angga Mohon Tunggu... -

Sejarawan Muda dari Bhumi Bung Karno

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Abad XX

18 Oktober 2012   06:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:43 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Eksistensialisme

Eksistensialisme merupakan penyelidikan “pengalaman hidup” manusia yang selalu menjadi dalam suatu ketegangan dialektis antara situasi dan kebebasan. Ada dua aliran yang penting:

ðEksistensialisme tertutup: membatasi pandangannnya pada gambaran manusia yang bercerai-cerai tanpa trancendentia, atheistis dan pesimisme.

ðEksistensialisme terbuka: mengakui trancendentia, berada-ada artinya, hati terbuka bagi rahasia realitas.

Ada beberapa tokoh eksistensialisme yang cukup terkenal, diantaranya Kierkegaard, Berdyaev, Jaspers, dan Sartre. Berikut ini kita akan sedikit membahas mengenai pemikiran mereka tentang eksistensialisme.


  1. Soren Aabye Kierkegaard

Kierkegard sendiri berasal dari Kopenhagen, Denmark. Ia mengatakan manusia akan terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Akan tetapi pilihannya yang pertama haruslah diputuskan sejauh menyangkut apa yang baik dan apa yang buruk. Baru kalau seorang telah menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk, baru ia memilih tempat satu diantara keduanya, baru kemudiannya putusan-putusannya menjadi bermakna. Tanpa pendirian yang tegas mengenai pilihan dasar ini, maka sebenarnya ia tidak menjalani suatu existensi yang ada artinya. Sebab untuk memilih dan memebuat keputusan itu manusia bebas.

Jadi semua tindakannya didukung oleh suatu sikap etis yang tidak melepaskan tindakan-tindakannya itu dari tanggungjawab. Maka seseorag telah melampaui suatu exsistensi yang sekadar terletak pada taraf estetis belaka.

Sikap estetis itu bukanlah harus ditiadakan, melainkan harus ditingkatkan lebih tinggi lagi, yaitu ke taraf etis. Transfigurasi nilai-nilai estetis ke taraf etis itu memungkinkan lebih langgengnya nilai-nilai tersebut. Taraf terakhir yang harus dicapai manusia adalah traf religius.

Kierkegaard menekankan bahwa yang menjadi soal bukanlah agama itu sendiri, melainkan bagaimana menjalani suatu existensi beragama. Dalam menuju Tuhan tidak mungkin ditempuh melalui logika yang abstrak, melainkan harus didasarkan pada penghayatan subjektif. Kedekatan dengan Tuhan adalah penghayatan existensil.

Makin seorang mendekati kesempurnaan, makin ia memebutuhkan Tuhan. Taraf existensi yang estetis ditingkatkan kepada taraf etis dan pada taraf ini manusia tidak menyelesaikan sesuatu persoalan dengan kepastian. Existensi pada kedua taraf ini masih dihadapkan pada penghayatan kekuatiran, oleh karena tiadanya kepastian.

Sedangkan subjektivitas adalah yang merupakan kebenaran pertama, dimana menjadi dasar bagi existensi pribadi, bahkan Kierdegaard menganggap bahwa subjektivitas itu menjadi tugas bagi setiap manusia.

Dapat disimpulkan bahwa bagi Kierdegaard, manusia bukanlah sekadar sebagai suatu fakta, lebih dari itu. Existensi bagi manusia adalah tugas. Dan salah satu yang menjadi pesannya ialah bahwa existensi itu dijalani dengan kesejatian, artinya janganlah tampil dengan kesemuaan. Kalau existensi yang sejati itu menjadi tugas, maka jelaslah bahwa bagi Kierdegaard existensi harus dihayati sbagai suatu yang etis dan religius.

Existensi yang sejati menjadi tugas bagi setiap manusia, oleh karena existensi yang demikian itu diserrtai oleh tanggumgjawab. Tidak seperti halnya dalam massa, maka existensi yang sejati memungkinkan individu memilih dan mengambil keputusan serta bertindak atas tanggungjawab individu. Untuk itulah subjektivitas dan existensi sejati itu suatu tugas.


  1. Nicolas Alexandrovitch Berdyaev

Berdyaev merupakan seorang Rusia yang dilahirkan di Kiev (sekarang ibukota Ukraina). Ia mengatakan manusia sebagai makhluk spiritual adalah kebebasan, sedagkan sebagai hasil alamiahnya maka ia menghayati keharusan-keharusan. Kebebasan itu dibatasi oleh kaharusan-keharusan. Yang menjadi soal Berdyaev ialah bagaimana manusia bisa menghayati existensinya dalam kebebasan. Bagaimana mengatasi paradox yang dihayati manusia, agar mampu mencapai kebebasan existensiil sebagai pribadi.


  1. Karl Jaspers

Jaspers dilahirkan di Oldenburg, Westphalia pada 1883. Ia mengatakan transendensi – Tuhan dan dunia, sedangkan kenyataan kitasebagai manusia adalah existensi. Pandangan Jaspers tentang Tuhan sulit dijelaskan, karena ia tidak menunjukkan sikapnya yang pasti tentang Tuhan.

Baginya manusia adalah suatu kebebasan. Dan kita makin sadar tentang existensi diri kita sebagai kebebasan justru apabila kita dihadapkan pada imperatif. Demikian juga tanggapannya tentang Tuhan yang antara lain tampil kepada manusia sebagai sumber imperatif. Oleh karena itu Jaspers sampai pada kesimpulan bahwa makin sungguh-sungguh sedar seseorang tentang kebebasannya, makin kuat kepstiannya tentang adanya Tuhan. Tuhan adalah sumber kebebasan, akan tetapi juga dalam kebebasan Tuhan dapat ditemui. Maka Tuhan bagi Jaspers adalah suatu keterbukaan yang tak kunjung beku dalam penghayatan manusia.

Jaspers ingin melayang-layang terus dan tidak mau mengambil keputusan-kputusan yang pasti dan selesai, bukan karena ketakutan untuk bertindak demikian, melainkan oleh karena keinginannya bertahan dalam kebebasan untuk mampu melakukan transendensi terhadap existensinya.

Maka ia tidak menerima anggapan bahwa existensi dihayati sebagai suatu yang final. Existensi justru tidak berkepastian dan tidak final. Yang benar adalah adanya situasi-situasi batas yang kita alami dalam existensi kita masing-masing. Situasi batas (Grenz Situationen) tadi tak dapat kita hindari.

Manusia menurut Jaspers adalah penanggung kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa sebagai kemungkinan yang tidak bisa dihindari. Sedangkan situasi batas yang paling pasti adalah maut. Betapapun existensi dihayati sebagai kebebasan dan keterbukaan, betapapun ketidakpastian memungkinkan kita menghayati existesi sebagai suatu yang tak kunjung tertutup dan mantap, namuntidak mungkin kita menghindarkan diri dari maut sebagai kepastian yang paling mantap. Maut melekat pada existensi sebagai suatu situasi batas yang tidak bisa dielakkan.

Sebagai kenyataan manusia sebagai dua segi. Di satu sisi ia sebagai sesuatu fakta belaka, seatu desai, akan tetapi dilain sisi ia adalah existensi yang konkrit dalam suatu situasi ruang dan waktu. Sebagai suatu existensi ia menghayati dirinya sebagai suatu diri yang mengada-ngada, “Selbst-sein”.


  1. Jean Paul Sartre

Sartre merupakan guru besar filsafat dari Lyceum di Le Havre, Prancis. Seorang Prancis yang dilahirkan pada tahun 1905. Salah satu yang menarik dari Sartre ialah pemikirannya tentang existensi manusia. Bagi Sartre, manusia ada dengan kesadarannya sebagai dirinya sendiri. Dan sebagai demikian itu maka tidak bisa dipertukarkan. Adanya manusia berbeda dengan adanya hal-hal lain yang tanpa adanya kesadaran tentang adanya semdiri. Dengan kata lain, bagi manusi existensi adalah keterbukaan, berbeda dengan benda-benda yang lain di mana ada itu berarti sekaligus essensi, maka bagi manusia existensi mendahului essensi.

Asas pertama ajaran Sartre adalah sebagai dasar untuk memahami manusia hruslah mendekatinya sebagai subjektivitas. Manusia sebagai pencipta dirinya tidak akan selesai-selesai dengan ikhtiarnya. Sebagai existensi yag ditandai oleh keterbukaan menjelang masa depannya, maka manusiapun merencanakan segala sesuatunya bagi dirinya sendiri.

Manusia bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, apapun jadinya existensinya, apapun makna yang hendak diberikan kepada existensinya itu, tiada lain yang bertanggungjawab adalah dirinya sendiri.

Maka manusia menghayati existensinya sebagai kesendirian mutlak. Ia mencipta dirinya sendiri, ia memikul tanggungjawab yang lebih dari sekadar terhadap dirinya sendiri, akan tetapi ia tidak menemukan tempat berpijak atau bergantung yang memberikan kepastian. Tidak ada yang dapat meringankan beban ini, tidak juga Tuhan. Menurut Sartre, ada tidaknya Tuhan tidak akan mengubah penghayatan manusia tentang dirinya sebagai existensi. Sartre menegaskan bahwa filsafatnya bukan ditujukan untuk menyimpulkan suatu atheisme, melainkan suatu usaha untuk menyoroti existensi manusia sebagaimana nyatanya.

Fenomenologi

Fenomenologi merupakan hal penting sebagai metode baru dalam filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan. “Phaenomenon” = “apa yang memeperlihatkan diri dalam kesadaran”. Metode ini sangat luas dipergunakan.

Fenomenologi adalah segala sesuatu yang dengan sesuatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun yang berupa kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode, yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya.

Salah satu filsuf yang mempengaruhi filsafat abad 20 ialah Edmund Husserl (1859-1938) dengan fenomenologinya. Barang yang tampil dalam kesadaran itulah fenomena. Bagi Husserl pada masa pertama ajarannya mengenai fenomenologi, ini tidak berarti bahwa barang-barang tersebut hanya merupakan bentuk penampilan kesadaran, seperti yang dikatakan oleh idealisme. Karena jika demikian halnya, berarti sudah mendasarkan diri atas suatu teori tertentu, sedangkan fenomenologi justru harus bersifat prateoretik. Yang demikian ini juga tidak berarti bahwa Husserl ingin menjadi seorang realis: sesungguhnya fenomenologi menempati kedudukan sebelum terdapatnay pembedaan antara realisme dengan idealisme.

Tidak mungkin untuk melukiskan fnomena-fenomena sampai kepada hal-hal yang khusus satu demi satu, dan seandainya mungkin juga tidak akan ada gunanya. Yang pokok ialah menangka hakekat fenomena-fenomena. Karenanya metode tersebut harus begitu rupa, sehingga dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, dan agar hakekat ini dapat mengungkapkan diri sendiri. Yang demikian ini bukan suatu abstraksi, melainkan suatu intuisi mengeni hakekat (Wesesserchauung).

Tokoh fenomenologi yang lain ialah Max Scheler (1874-1928), meskipun bukan murid Husserl, ia merupakan seorang tokoh sepemikiran yang sangat dipengaruhinya. Menurutnya suatu analisa fenomenologi mengenai pengetahuan memeperlihatkan bahwa dalam usaha mengetahui, subyek dan obyek saling berhadapan. Obyeklah yang menentukan sifat pengetahuan. Sebagai obyek ia tidak tergantung pada subyek, dan seajauh itu dapat disebut ada secara tersendiri (Ansichesin. Keadaan tidak tergantung ini dipunyai oleh obyek real maupun obyek ideal. Tetapi yang demikian ini belum berarti orang telah memilih antara realisme atau idealisme. Analisa selanjutnya menunjukkan bahwa dengan mendasarkan diri pada realisme, fenomena pengetahuan dapat lebih dipahami dibanding dengan bila orang mendasarkan pada idealisme.

Sumber : Delfgaauw, Bernard. 1988. Filsafat Abad 20 (diterjemahkan oleh Soejono Soemargono). Yogyakarta: Tiara Wacana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun