Mohon tunggu...
Sehat Damanik
Sehat Damanik Mohon Tunggu... Dosen - Pendidikan terakhir magister hukum dari Universitas indonesia dan berprofesi sebagai dosen di Universitas Tarumanegara, STIH Gunung Jati Tangerang dan praktisi hukum.

Beralamat di Jl Madrid UTARA 1 Nomor 1 Perumahan Palem Semi Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengantisipasi Kepailitan Akibat Covid-19

2 Mei 2020   13:42 Diperbarui: 2 Mei 2020   13:53 1784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MENGANTISIPASI KEPAILITAN AKIBAT BENCANA COVID 19
Oleh Sehat Damanik, S.H., M.H.*

Presiden RI Joko Widodo telah menandatangani Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Desease 2019 (Covid -- 19) Sebagai Bencana Nasional pada tanggal 13 April 2020. Kepres ini muncul sebagai upaya Pemerintah untuk melakukan percepatan terhadap pemberantasan Pandemi Covid 19. Rangkaian kegiatan lain dalam penanganan Covid ini yakni pemberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Desaase 19, kemudian berlanjut pada larangan mudik dan terakhir dihentikannya sektor transportasi udara domestik maupun internasional terhitung sejak 24 April 2020.

Kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid 19 di atas telah menimbulkan dampak yang sangat besar dibidang ketenagakerjaan. Kelesuan ekonomi sudah mulai terjadi dan diperkirakan akan semakin dalam selama tahun 2020. The Economist Inteligence Unit (EIU) melihat bahwa Negara berkembang yang tergabung dalam G20 akan mengalami resesi pada 2020. Negara-negara di Eropah termasuk menjadi Negara yang paling terdampak Covid 19. Jerman (- 5%), Prancis (- 5 %) dan Italia (- 7%) akan mengalami resesi sepanjang tahun ini. Pemulihan parsial diperkirakan baru akan terjadi pada 2021 (http://katadata.co.id>berita>Ekonomi di Tengah Pandemi, apakah akan terjadi lagi Depresi Besar ?, diakses pada tanggal 26 April 2020). Di Indonesia, menurut Ekonom Faisal Basri, proyeksi pertumbuhan ekonomi palinggi cuman 0,5 %, bahkan skenario terburuk bisa minus 2% sampai dengan 2,5% pada tahun 2020 (http://www.m.detik.com> Prediksi Terburuk Pertumbuhan Ekonomi RI, diakses 26 April 2020).

Keadaan ekonomi Negara-negara di dunia secara umum akan mengalami depresi. Hal itu ditandai dengan menurunnya harga-harga, demikian juga daya beli, serta jumlah penawaran yang jauh lebih danyak dari permintaan. Kondisi ini akan mengakibatkan pengangguran meningkat secara tajam dan dunia usaha mengalami kelesuan yang mengarah kepada lukuidasi perusahaan.

KEMACETAN PEMBAYARAN UTANG DAN AKIBAT HUKUMNYA

Kelesuan eknomi yang diperlihatkan oleh pertumbuhan ekonomi yang berjalan mundur (negative), tentu sangat berdampak pada likuiditas usaha. Usaha kecil menengah yang modalnya tidak kuat diperkirakan akan sangat rapuh dan rentan terhadap ketidak mampuannya membayar utang. Kemacetan pembayaran ini tentu menimbulkan konsekuensi hukum bagi pihak-pihak yang terkait, khususnya kreditor.

Pengertian utang menurut pasal 1 ayat (6) UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhan dari harta kekayaan debitor.

Berdasarkan pengertian di atas utang diartikan secara luas, yaitu seluruh kewajiban yang timbul dari suatu perikatan, baik perjanjian utang piutang, melainkan juga dari sebab lain seperti jual beli, perjanjian penyerahan barang, perjanjian untuk melaksanakan suatu pekerjaan dan lain-lain, yang menimbulkan hak yang bisa dihitung dalam jumlah uang. Itu berarti bahwa pengusaha yang tidak membayar gaji juga dapat dikategorikan berhutang kepada pekerja.

Hal yang sangat tragis dari kemacetan ekonomi akibat Pandemi Covid 19 ini adalah bahwa penyebab terjadinya kelesuan ekonomi bukanlah karena kesalahan debitur, melainkan karena situasi bencana nasional. Namun akibat yang timbul dari bencana tesebut menjadi tanggungan pengusaha. Misalnya, gaji pekerja tetap harus dibayar padahal pekerja tidak bekerja; cicilan utang harus dipenuhi padahal pemasukan tidak ada dll. Tidak ada yang bisa dipersalahkan sebagai penyebab dari bencana ini, tetapi ketika debitur tidak membayar utangnya, hal itu akan menimbulkan konsekwensi hukum yang berat baginya.

Pemerintah memang sudah berupaya membuat kebijakan khusus bagi yang terdampak Covid 19 melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional. Dengan berlakunya POJK ini maka pemberian stimulus untuk industry perbankan sudah berlaku sejak 13 Maret 2020 sampai dengan 21 Maret 2021. Adapun debitur yang termasuk sebagai terdampak contohnya debitur yang terkena dampak penutupan jalur transportasi dan periwisata dari dan ke Tiongkok; yang mengalami penurunan volume eksport secara signifikan; yang terkena dampak terhambatnya proyek pembangunan infrastruktur karena terhentinya pasokan bahan baku, tenaga kerja dan mesin dari Tingkok maupun negara lain yang telah terdampak Covid 19.

Persoalan muncul terhadap perusahaan-perusahaan lain yang tidak termasuk dalam Peraturan OJK di atas, yang jumlahnya juga masih banyak, termasuk mereka yang punya utang kepada lembaga non jasa keuangan. Mereka terdampak akibat Covid 19 namun nasip mereka tidak terlindungi karena tidak termasuk yang dilindungi menurut POJK di atas. Kesulitan lain juga muncul karena walaupun perusahaan termasuk yang mendapat stimulus keuangan, ternyata kreditur (bank dan perusahaan pembiayaan) tidak juga serta merta memberikan kemudahan. Hutang tetap haras dibayar sedangkan yang diakomodir paling perpanjangan tenor pembayaran, misalnya dari yang seharusnya 1 tahun menjadi 1,5 tahun. Dengan demikian potensi persoalan hukum akibat kemacatan pembayaran masih terbuka lebar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun