LIO DAN ASAL MUASAL
Oleh: Sebastianus Naga, STP St.Bonaventura Delitua
Terletak di bagian Timur Kabupaten Ende, Pulau Flores-Nusa Tenggara Timur. Di Kabupaten Ende ada 2 suku besar yakni Lio dan Ende.
Dari mana asal nenek moyang orang Lio?
1. Menurut catatan sejarah suku-suku di NTT, nenek moyang ‘orang Lio’ di bagian Barat merupakan campuran Melayu dan Wedoide. Sedangkan di bagian Timur berasal dari campuran Negroide dan Melanesia. Konon menurut mitos (warisan tutur sebagian kalangan) para pendatang dari Melaka/Melayu yang berlayar dengan kapal berkenan menyingghi wilayah Utara Pulau Flores di kawasan Detuwewaria. Mungkin merasa berkenan untuk menetap maka sebagian dari para pelaut itu memilih tinggal. Sejak saat itu para pelaut dari seberang atau sering disebut ‘ata leja ghawa; ata mangu lau' mengembangkan pengaruhnya dan berkembang biak.
2. Pandangan lain melihat bahwa kawasan Flores termasuk di Lio juga merupakan daerah taklukan Majapahit yang datang dari Malaka/Melayu. Mungkin mereka inilah yang disebut para pelaut dari seberang yang turut serta membawa tradisi dan adat istiadat ke kawasan Lio.
3. Dari segi filsafat dan spiritualitas, komunitas Ata Aku sedikitnya mendapat pengaruh dari Hindu India. Menurut catatan Pater Paul Arnd, SVD dalam bukunya Duä Ngga’e menyebutkan bahwa ada sejumlah unsur khas yang dikenal di India Muka khususnya dalam Hinduisme. Orang India memandang gunung yang tinggi bersifat ilahi. Di Lio juga sama memandang gunung dan bukit yang tinggi bersifat ilahi dan karenanya dihormati. Pada gunung maupun bukit yang tinggi itu dibawakan persembahan. Paul Arndt pun berpendapat bahwa kata ‘ndu’a’ di Ngadha dan ‘nage du’a’ (pegunungan, daerah gunung yang berhutan) adalah sama dengan Duä wujud tertinggi. Di India ular sangat dihormati. Di Lio penghormatan terhadap ular pun sangat tinggi. Dalam Hinduisme bulan dipandang sebagai perahu demikian pun di Lio. Di Lio orang percaya bahwa ada satu pohon beringin yang tumbuh di bulan. Bagi orang Hindu bulan sendiri adalah pohon beringin. Jadi ada kesamaan orang Hindu dan orang Lio yaitu menghubungkan dan mengidentifikasikan wujud tertinggi dengan gejala alam dan benda-benda langit, khususnya dengan bulan dan benda-benda tersebut dihormati sebagai wujud tertinggi.
4. Menurut catatan Sareng Orinbao dalam bukunya Nusa Nipa,1969 (hal.31-32) mula-mula nenek moyang ‘ata aku’ hidup menetap di Wewaria sambil mengembangkan seremoni adat. Tapi karena kawasan itu sering diserbu oleh ‘orang asing’ seperti dari Bajo Bima atau Seso Bajo Bima, Puak Goa, Puak Sera Lana dan Puak Jawa, maka kaum ‘ata aku’ memilih berpindah ke kawasan tengah dan Selatan. Perpindahan mereka sambil membawa serta nama-nama kelompok, bahasa dan tradisi warisan purba. Ungkapan yang menunjukan bahwa kaum ‘ata aku’ diserbu oleh orang asing disebut ‘tiko Lio’ yakni sebuah upaya pengepungan oleh para musuh terhadap kaum ‘ata aku’; sebuah politik “Einkreisung” (politik pengepungan). Oleh pengepungan itu kaum ‘ata aku’ mengembara dan mengecil di masing-masing wilayah. Dengan proses pengecilan itu maka terjadi pula cara hidup isolasionistik. Orang Sikka sering menyebut proses isolasionistik bagi kaum ata aku sebagai “Lio Loar” (loar=menumbangkan).
Akibat pengungsian oleh kaum ‘ata aku’ maka terjadilah kekosongan di wilayah bagian Utara. Serentak pula oleh kekosongan itu maka ‘orang asing’ pun menempatinya termasuk Puak Kowe Jawa yang kalah itu lebih giat memberantas penyerbuan yang dilakukan oleh Puak Seso Bajo Bima. (Puak Seso Bajo Bima berasal dari Pulau Sumbawa). Dalam upaya memberantas orang asing, Puak Kowe Jawa menjadikan Dondo/Ndondo, Ae Wora dan Kota Jogo sebagai basis konsolidasi pasukan yang dimobilisir dari kawasan Selatan seperti dari Ndori, Ndale, Mbuli, Nggela Soge dan Tonggokeo.
Pengungsian purba kemudian menyebar ke wilayah-wilayah seperti Lise, Mbuli, Sera Ndori, Mole, Nggela, Wolojita, dan Ndona. Oleh kenyataan purba demikian tidaklah mengherankan bila perkampungan tradisional di Lio selalu berada di tempat yang tinggi, di atas bukit, di dekat jurang yang terjal. Hingga sekarang pada tempat-tempat kuno itu masih tertinggal kuburan dan ‘Hanga’. Dalam proses selanjutnya di kawasan Tengah dan Selatan itu, kaum ‘ata aku’ kembali berpapasan dengan para pendatang baru dari seberang (sebutan untuk pendatang dari Melayu/Melaka). Melalui hubungan kawin mengawin memungkinkan terjadi perkembangan yang luar biasa di kalangan suku-suku ‘ata aku’ /Lio.
KERAJAAN LIO
Sebelum tahun 1907, struktur masyarakat Lio terdiri dari tiga kelompok hirarkis yakni Pertama, Mosalaki (pemangku adat), Kedua, kelompok Ajiana, Faiwalu, Anahalo (warga kebanyakan) dan Ketiga, kelompok Ataho’o rowa (para hamba dan budak). Para Mosalaki sebagai pemangku adat juga merupakan pemilik tanah ulayat (memiliki Ura Aje). Para Ajiana, Faiwalu dan Anahalo hanya merupakan penggarap. Setelah tahun 1907, Belanda berhasil meredusir struktur kekuasaan pemimpin tradisional/Mosalaki dengan mulai mengembangkan sistem kepemimpinan politis kerajaan dan swapraja melalui kebijakan/policy zelfbestuur. Selanjutnya pada tahun 1912 Belanda membagi wilayah Tanah Ata Aku (sebutan bagi kawasan yang kemudian dikenal dengan Lio) ke dalam 7 wilayah swapraja yakni Pu, Lise, Mbuli, Ndori, Wolojita, Nggela dan Ndona. Untuk menguasai wilayah persekutuhan Tana Ata Aku, sejak tahun 1912 Kepala Administrator Belanda atau Gezaghebber yang berkedudukan di Jopu mengangkat Reu Wahdi seorang dari Wakuleu menjadi penguasa/raja. Mengingat Belanda berkepentingan menaklukan struktur kepemimpinan tradisional/Mosalaki sekaligus menguasai wilayah Ata Aku maka Kepala Administrator Belanda, (Gezaghebber) pada tahun 1917 berkenan membagi wilayah Tanah Ata Aku menjadi dua kerajaan yakni Ndona (di bagian Barat) yang berpusat di Wolowona dengan rajanya Baki Bani dan Tanah Kunu Lima (di bagian Timur) yang berpusat di Wolowaru dengan rajanya Pius Rasi Wangge. Tanah Kunu Lima terdiri dari Lise, Mbuli, Ndori, Nggela dan Wolojita. Reu Wadhi yang semula dipilih menjadi penguasa/raja di Tana Kunu Lima digantikan oleh Pius Rasi Wangge. Pius Rasi Wangge resmi diangkat menjadi raja pada 21 Oktober 1917. Tapi kemudian pada tahun 1924 pada masa kepemimpinan Pius Rasi Wangge atas upaya Belanda pula Kerajaan Ndona dan Tanah Kunu Lima disatukan. Dua wilayah yang telah disatukan itu disebut Lio. (Sumber: Emanuel Yosep Embu,SVD, dalam Paul Arndt, SVD: Du’a Nggae Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio, Pengantar, hal. 17-19)
Struktur pemerintahan kerajaan masa Kolonial Belanda
Paling tinggi adalah raja. Di bawah raja adalah punggawa dan Kapitan. Kapitan pada hakekatnya menggantikan kedudukan mosalaki. Di bawah kapitan ialah Kepala Kampung dan akhirnya rakyat.Perbatasan budaya LIO diungkapkan dalam bahasa klasik “Ulu Kowe Jawa, Eko Loka Lambo”. Di Timur berbatasan dengan Kowe Jawa/Tanah Sikka-Kowe, di Barat berbatasan dengan Loka Lambo/Tanah Ende.
Di Lio terdapat sejumlah tanah persekutuhan.
Wilayah Timur berbatasan dengan Sikka terdapat dua tanah persekutuhan yakni Mbengu/Bu dan Mego.Wilayah tanah ata aku (tengah dan Selatan) mencakup tanah persekutuhan Lise, Mbuli, Ndori, Mole, Nggela, Wolojita, Tenda, Jopu, dan Moni-Koanara. Di Lise terbagi lagi menjadi tanah persekutuhan Lisedetu, Liselowobora, Lise Kuru, Lise Lande dan Lise Nggonderia.
Wilayah Barat mencakup tanah persekutuhan Ndona
persekutuhan Lika Mboko Telu di Wilayah Utara Lio yang meliputi Numba, Tendaleo, Ratewati, Anaranda dan Paupanda. Mosalaki Riabewanya yakni Simon Seko (hingga 2003) Tanah Persekutuhan Unggu di wilayah Utara Lio yang mencakup Nida, Watunggere, Kanganara, Detukeli, Pisa, Tana Au, Lasugolo, Aedari dan Fungapanda Tanah Persekutuhan Nuangenda di wilayah Utara Lio mencakup Welamosa, Nuangenda ke arah perbatasan dengan Unggu Tanah Persekutuhan Daumboi di wilayah Utara Lio mencakup daerah Ranakolo Tanah Persekutuhan Keliwumbu Tanah persekutuhan Ndondo Naka Taka
PROFIL NAMA LIO
Kata LIO dimunculkan ketika wilayah tanah kunu lima dan Ndona disatukan menjadi satu kerajaan oleh Pius Rasi Wangge pada 1924. Untuk menyebut dua kerajaan yang disatukan itu Raja Pius Rasi Wangge menamainya LIO. Bagi Pius Rasi Wangge LIO diartikan sebagai Lise Ila Obo atau Lise adalah lampu obor. Secara bebas diartikan bahwa orang Lise adalah penerang, pemimpin dan perkasa. Pengertian ini diasumsikan oleh Simon Seko, Ria Bewa tanah Lika Mboko Telu Mautenda sebagai politik kekuasaan orang Lise. (Sumber : P. Sareng Orinbao, Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Nita Flores, 1992)
Arti yang digandrungkan oleh Raja Pius Rasi Wangge tampaknya berbeda dengan pemahaman orang Hindia Belanda yang kala itu berkuasa. Penguasa Hindia Belanda memahami kata LIO secara akronim dengan Bahasa Belanda “Land in Orloog” atau daerah konflik. Maksudnya suku bangsa yang mendiami daerah-daerah di kawasan LIO selalu bertikai satu sama lain. Kecenderungan suka berkonflik terlihat dari pemukiman suku bangsa tersebut yang terletak di atas bukit yang tinggi serta di tebing jurang yang dalam. Pilihan bermukim di kawasan tersebut guna mengetahui secara cepat kedatangan musuh sekaligus memberikan perlawanan secara tepat terhadap pihak musuh yang datang. Land in Oorlog juga disinkronkan dengan keyakinan primordial yang menunjukkan figur Woda dan Wangge, dua tokoh Lise yang suka merampas dan merampok. Kepada keduanya dijuluki “Gudu Woda Budu, Biga Wangge Rago” berarti Woda menggemparkan dan Wangge menggegerkan. Keduanya dipandang memperluas wilayah Lise dengan cara menimbulkan kepanikan. (Sumber : P. Sareng Orinbao, Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Nita Flores, 1992). Pada era tahun 1980-an di Ende muncul Bapak Petrus yang menjelaskan arti kata LIO secara lebih akomodatif. Bapa Petrus mengartikan kata LIO sebagai “ Li - Ine – One atau Sa Li, Sa Ine, Sa One”.
Sa Li adalah sebaya, seusia atau seumur.
Sa Ine adalah satu ibu, satu bapak dan satu asal
Sa One adalah serumah dan sekeluarga.
Hakekat pemahaman bagi Bapak Petrus yakni bahwa suku bangsa Lio adalah sama dan seasal. Suku bangsa Lio berasal dari nenek moyang yang sama. Karenanya orang LIO memandang satu dengan yang lainnya adalah saudara. Untuk memahami hakekat orang LIO, menarik untuk disimak pula pola kebiasaan memberikan nama pada suatu benda yang cenderung berdasarkan tiruan bunyi/suara suatu benda atau anomatoupe.
Kucing yang selalu bersuara “eo,eo,eo” dinamakan ‘ana eo’
Burung Gagak yang selalu bersuara “a,a,a” disebut ’ule a’
Burung Kuau yang bersuara ko, ko, ko disebut ‘Koka’.
Pada waktu melakukan gawi, dengan suara tenor yang khas ‘ata sodha’ mendaraskan syair-syair tradisional dan tiba pada suatu sfeer yang sama ‘ata gawi’ atau peserta secara spontan dan bersemangat menyambung dengan vokal Oo...o...o. Dari syair gawi ini mungkin akan ditelusuri lebih mendalam hakekat keberadaan orang LIO. Apa mungkin suku bangsa LIO adalah orang-orang yang berasal dari leluhur atau daerah asal yang memiliki dasar nama dengan inisial ‘O’ ? Apa mungkin sejak semula suku bangsa ini adalah bagian dari kelompok masyarakat yang hanya menuruti saja pendapat orang lain dengan setuju-setuju saja. O....ho’o (Ya, okey...oke..oke) Yang pasti dalam bahasa LIO suara vokal menjadi sangat dominan termasuk vokal O. Beberapa contoh: one (rumah), sao (rumah), kopo (kandang), rongo (kambing), wolo (bukit), deo (pegang), hago (raut), rombo (kantong), ogo (memagar), oso (minta), bogo (berjasa), tebo (badan/fisik), mo (capai, lelah, malas) kolo/.holo (kepala), sombo (bayi perempuan).
STRUKTUR MASYARAKAT ADAT
Dalam tatanan adat di Lio dikenal tiga kelompok masyarakat hirarkis yakni : Pertama, Mosalaki (pemangku adat), Kedua, kelompok Ajiana, Faiwalu, Anahalo (warga kebanyakan) dan Ketiga, kelompok Ataho’o rowa (para hamba dan budak). Para Mosalaki disamping sebagai pemimpin komunitas masyarakat juga merupakan pemilik tanah ulayat dan pemangku adat. Dalam sebuah kampung atau tanah persekutuhan terdapat sejumlah mosalaki yang bergabung dalam dewan mosalaki. Mereka yang masuk dalam dewan mosalaki ini disebut Dewan Laki Ria. Para Ajiana, Faiwalu dan Ana halo masuk bilangan keluarga besar mosalaki. Dalam hubungan dengan tanah Ajiana, Faiwalu dan Anahalo (anak yatim dan piatu) hanya merupakan penggarap.
Untuk kelompok mosalaki terbagi lagi menjadi Ata Laki Pu’u, Ria Bewa, Boge dan Hage.Dewan Laki Ria secara umum beranggotakan 7 mosalaki (Laki lima rua). Dewan Laki Lima Rua dibagi dalam dua unit yaitu unit tiga besar atau laki telu dengan wewenang tertinggi pada Laki Pu’u (Pangkal laki) untuk urusan ritual. Unit empat besar atau laki sutu untuk mengurus tata pemerintahan profan dan tata hidup rakyat dengan wewenang tertinggi pada Ria Bewa. Sehingga Dewan Laki Ria melengkapi struktur pemerintahannya dengan memilih Laki Pu’u dan dua asistennya serta Ria bewa dengan 3 asistennya. Laki Pu’u bersama dua asistennya atau (tritunggal) bertugas mengurusi upacara ritual adat. Para asisten laki Pu’u disebut Laki Ndu atau mosalaki tu tego taga mido. Para asisten lebih bertugas mengontrol pelaksanaan tugas-tugas ritual yang diajalankan oleh Laki Pu’u.. Ria Bewa adalah pemangku/pelaksana pemerintahan di bidang profan dan tata hidup rakyat banyak. Ria Bewa dipilih secara demokratis oleh dewan Laki Ria. Salah satu tugas penting dari Ria Bewa ialah sebagai hakim adat. Ria Bewa tidak memiliki wewenang atas ulayat. Tetapi bila terjadi persoalan tentang tanah maka Ria Bewa bertugas menyelesaikannya secara adil. Peran yang diemban oleh Ria Bewa dilukiskan sebagai berikut:
“Ria tana iwa, bewa lema la’e.
Ria tau tanga su’u sepu seru ata eo sala ngere sapa wadha;
Bewa tau ngilo aenunu ata eo leko ngere berobewa
Ria menga tau talu sambu no’o ata mangulau (penghubung dengan orang asing)
Bewa menga tau tawa raga no’o laja ghawa” (pembicara dengan kaum pendatang)
Mengingat Laki Pu’u dan Ria Bewa adalah para petinggi di MA maka jika meninggal keduanya dikuburkan di Keda Kanga/Hanga atau sekitarnya.
Boge dan Hage adalah pejabat-pejabat pendukung yang melaksanakan tugas-tugas khusus dalam aktivitas adat. Biasanya Boge dan Hage diemban oleh tidak saja hanya oleh mosalaki tapi juga diantara kalangan aji ana yang karena kemampuan dan ketrampilan. Mosalaki yang dimaksud di sini lebih merupakan mosalaki kelas bawah. Tergolong mosalaki kelas atas adalah anggota Dewan Laki Ria, Laki Pu’u dan Ria Bewa. Keluarga dari mosalaki kelas atas sering disebut Ine Ame=ibu bapak. Sebutan Boge dan Hage lebih merupakan term khusus yang menyatakan identitas berdasarkan pembagian keratan daging babi. (Boge=keratan). Di kalangan Boge dan Hage masih terbagi ke dalam dua kelompok yakni Boge Ria dan Boge Lo’o, Hage Ria dan Hage Lo’o. Seekor babi yang disembeli dalam upacara adat bila dibagi maka : yang paling besar ialah Ria Bewa. Untuk Ria bewa diserahkan Pusu Lema (jantung, lidah) yang digandeng dengan keratan bagian punggung. Kemudian untuk dewan laki ria didapatkan keratan daging yang besar (Boge ria). Untuk mosalaki lo’o atau kaum boge diperoleh sedikit lebih kecil dari boge ria. Selanjutnya urutannya makin ke bawah makin kecil untuk hage ria dan hage lo’o.
Selain memiliki mosalaki pembantu, kalangan Ria Bewa maupun mosalaki Pu’u dan Ine Ame di setiap kampung/suku memiliki delegasi dalam setiap urusan keluar. Para delegasi khusus ini sering disebut “Bheto bewa tali nao” (penyambung lidah dan memperpanjang informasi dari sesepuh kepada masyarakat banyak atau orang-orang tertentu)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI