Kata propaganda sering terdengar menakutkan dan pada umumnya dianggap sebagai sebuah pergerakan atau tindakan yang "kotor". Kita cenderung mengingatnya sebagai alat rezim otoriter, kebohongan politik, atau kampanye yang menyesatkan. Namun, Edward Bernays---"Bapak Public Relations" lewat bukunya yang legendaris yang berjudul Propaganda (1928), menawarkan pandangan berbeda: propaganda sebenarnya netral; ia bisa dipakai untuk menipu, tapi juga bisa digunakan untuk membangun. Jadi dalam hal ini kita harus memahami bahwa "Propaganda" hanyalah sebuah alat.
Menurut Bernays, masyarakat modern begitu kompleks sehingga orang tidak mungkin mendalami semua isu secara mandiri. Di sinilah propaganda berperan: mengorganisir informasi, menyederhanakan pesan, dan menghubungkannya dengan simbol atau emosi yang dekat dengan publik. Dengan begitu, opini masyarakat bisa diarahkan ke tujuan tertentu.
Tentu, pertanyaannya adalah: bagaimana membedakan propaganda sehat dan tidak sehat? Bernays memberi isyarat yang jelas. Propaganda sehat menyentuh emosi sekaligus fakta, memakai tokoh atau pemimpin opini yang kredibel, serta diarahkan pada kepentingan bersama. Sebaliknya, propaganda tidak sehat biasanya penuh manipulasi emosi, menyembunyikan kebenaran, melayani segelintir elit, biasanya tokoh propaganda yang disebut "propagandis" cenderung "disamarkan", atau kalaupun tampak jelas, tetapi cenderung membawa agenda-agenda tertentu yang hanya membentuk opini yang menguntungkan segelintir pihak.
Kalau kita menelisik kembali terhadap fenomena sosial yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia dimana demo besar-besaran yang awalnya membawa aspirasi rakyat yang disebabkan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat, hilangnya empati para pejabat dan wakil rakyat dengan menampilkan sikap yang arogan dan cenderung tidak membangun etika komunikasi yang baik, membuat demo yang awalnya bertujuan untuk meyampaikan keresahan rakyat berubah menjadi bara api yang membakar amarah publik. Di beberapa daerah, bahkan di Jakarta terjadi chaos dengan membakar kantor-kantor pemerintahan, menjarah rumah pejabat publik, merusak fasilitas umum dan kekerasan demi kekerasan terjadi. Tentu tak bisa dipungkiri, kondisi tersebut telah menciptakan kepanikan publik sampai mengakibatkan korban luka, bahkan korban jiwa.Â
Bagi kita yang waras, tentu bukan ini yang kita kehendaki. Tetapi yang perlu kita ketahui, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Bernays, bahwa dalam kondisi ini ada propaganda yang tidak sehat sedang dimainkan. Disinilah kita butuh sudut pandang yang jernih untuk melihat kembali setiap peristiwa demi peristiwa secara detail dengan tujuan agar tuntutan yang disampaikan tepat sasaran. Maka  kita masyarakat sipil jangan terjebak pada amarah yang tak terkendali. Sebab amarah kitalah yang sedang ditunggangi oleh para provokator yang sedang melakukan aksinya untuk membuat suasana jadi chaos. Bagaimana kita mengcounter propaganda yang tidak sehat ini? Ada alternatif lain yang perlu kita bangun bersama untuk tidak terjebak dengan propaganda yang tidak sehat:
1. Membangun solidaritas untuk saling mendukung. Misalnya yang terjadi saat ini di platform-platform media sosial, kita melihat bagaimana perjuangan beberapa influencer dan konten kreator sesama masyarakat sipil untuk menyampaikan aspirasi bersama seperti Salsa Erwina Hutagalung, Ferry Irwandi, Jeremi Polin, dan masih banyak lagi. Dari opini-opini yang mereka lontarkan, kecenderungan berpihak pada tuntutan kita dan terus berupaya melakukan counter narasi terhadap informasi yang cenderung dimanipulasi. Secara bersamaan pula ada gerakan yang mengarahkan amarah publik untuk "merusak" dan membuat publik semakin pasif dari tujuan awal sehingga mudah untuk dipengaruhi. Â
2. Kritis terhadap berbagai fenomena yang terjadi. Dari kondisi yang sedemikian rupa patutlah kita juga terus menaruh curiga bahwa ada banyak "penyusup". Mulai dari gerakan masyarakat sipil yang "disusupi", atau bahkan dilingkaran kekuasaan itu sendiri juga telah "disusupi" propaganda yang tidak sehat. Masyarakat sipil yang terdiri dari mahasiswa, buruh dan lain sebagainya yang menggunakan hak konstitusinya dalam bernegara justru harus berhadapan dengan Polisi di lapangan. Potensi konflik tidak dapat dihindari. Di sini hendaknya kita kritis untuk mendeteksi adanya aktor dan dalang kerusuhan yang terjadi demi menjaga stabilitas dan fokus tuntutan kita.Â
3. Fokus pada Aspirasi. Tulisan ini mengajak masyarakat untuk membangun kembali kekuatan kolektif yang konkret melalui platform media sosial kita masing-masing. Media sosial menjadi panggung propaganda paling ramai saat ini. Disini kita disarankan untuk terus berhati-hati terhadap penyebaran konten-konten yang memprovokasi untuk "menjarah" dan "merusak" dan ajakan demo yang entah siapa koordinatornya hingga kebijakan-kebijakan yang masih "abu-abu". Â Tetapi di sisi yang lain, kita juga perlu waras untuk melihat menjaga dan melanjutkan aspirasi yang berpihak kepada rakyat dengan mulai membangun kampanye solidaritas sosial yang mengajak warga menjaga warga, kampanye untuk tidak turun ke jalan karena besarnya potensi chaos dan kampanye untuk tetap fokus pada tuntutan kita bersama. Disini kita perlu bijak memerhatikan momentum ini. Semuanya bersaing memengaruhi opini dan membakar emosi publik. Jangan sampai kita terjebak pada hasutan yang bertujuan untuk memprovokasi ke arah yang tidak fokus pada tuntutan kita bersama, karena momentum ini sangat berpotensi digunakan oleh segelintir orang untuk menjalankan agenda terselubung.Â
Manipulasi dan Aspirasi murni sedang bertarung dalam propaganda. Dua wajah ini selalu hadir bersamaan. Tetapi kita harus sadar, bahwa kita sebagai masyarakat sipil yang memperjuangkan keadilan bersama harus tetap solid. Kita masih memiliki nurani dan pikiran, dan itulah yang tak dimiliki oleh mereka yang menginginkan negara ini hancur. Maka nurani dan pikiran kita hendaknya digunakan untuk "menimbang rasa" dengan tetap fokus mengawal suara kita dan menghindari propaganda yang tidak sehat.Â
Menolak propaganda sama sekali bukan jawabannya, karena ia memang bagian tak terhindarkan dari demokrasi modern. Tetapi dalam tulisan ini saya mau sampaikan bahwa yang lebih penting adalah bagaimana kita mengawasi, mengarahkan, mengawal aspirasi kita bersama serta mengkritisi keadaan yang sedang terjadi. Saya menawarkan beberapa langkah yang bisa kita tempuh dan hal ini bisa kita lakukan secara kolektif melalui media kita masing-masing:
- Literasi media: Dengan menggunakan media dan platform yang ada, hendaknya kita terus membekali dan mengedukasi sesama masyarakat sipil untuk memilah fakta dari manipulasi agar tidak terseret pada arus informasi hoax atau sejenisnya yang mengubah arah suara masyarakat sipil.
- Transparansi media: Di sini kita perlu memastikan media dan platform digital tidak jadi corong kepentingan elit politik tertentu atau kepentingan kelompok-kelompok tertentu untuk melancarkan agendanya sendiri, tetapi memihak pada tuntutan-tuntutan masyarakat sipil.
- Kepemimpinan opini yang sehat: Dalam hal ini, kita berharap dan terus mendorong pemerintah, para tokoh publik, akademisi, para influencer, konten kreator dan jurnalis harus tampil memberi arah pada tuntutan kita bersama. Hendaknya kita juga perlu kritis dalam memilah opini yang justru menyulut polarisasi. Tindakan ini dapat kita lakukan secara kolektif dengan membagikan konten-konten yang fokus pada tuntutan kita bersama.
- Ruang dialog publik: Mendorong terus agar pemerintah membuka forum yang sehat agar aspirasi masyarakat melalui media sehingga setiap informasi tidak mudah dipelintir, jika tidak lagi memungkinkan maka kita bisa menggunakan platform digital kita untuk membuka ruang-ruang dialog publik.
- Etika komunikasi: Kita terus mendorong agar pemerintah hari ini mengutamakan keterbukaan sebagai bentuk tanggungjawab moral politik serta mengawasi kebijakan yang diambil dalam situasi saat ini dengan mengedepankan etika komunikasi yang tidak mengecilkan perjuangan masyarakat sipil untuk menyampaikan aspirasinya. Oleh karena itu, kita berharap agar pemerintah mengedepankan empati dalam merespon tuntutan rakyat. Jika hal itu tidak lagi kita temukan dalam lingkaran kekuasaan yang kita percayakan kepada pemerintahan hari ini, maka kita masyarakat hendaknya memulai itu. Bangun etika komunikasi yang baik karena kita tidak sama dengan mereka yang berkuasa tanpa empati.