Mohon tunggu...
Syamsul
Syamsul Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Nilai Rupiah Anjlok, Masyarakat Bisa Bantu Ekonomi dengan Cara Ini

6 September 2018   17:59 Diperbarui: 6 September 2018   18:08 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Dibanding bersikap pesimis, masyarakat bisa turut serta memperbaiki ekonomi di tengah anjloknya nilai rupiah.

Depresiasi nilai rupiah baru-baru ini menjadi perbincangan ramai di media massa dan internet. Meski sebetulnya depresiasi sudah terjadi secara terus-menerus sejak beberapa tahun belakangan, nilai rupiah yang sudah menyentuh angka Rp15 ribu per dolar membuat heboh masyarakat. Pasalnya, angka tersebut hampir menyentuh titik terendah yang pernah mata uang garuda ini alami saat krisis finansial tahun 1997 silam.

Tekanan terhadap rupiah memang bisa memicu krisis. Hal demikianlah yang terjadi pada tahun 1997. Saat itu, pemerintah menghentikan campur tangan di pasar valas dengan maksud melindungi cadangan devisa dari spekulan. Keputusan tersebut ternyata direspon secara negatif oleh investor. Arus modal keluar dalam jumlah besar memicu depresiasi nilai tukar dalam jumlah besar di antara tahun 1997-1999.

Lembaga keuangan dan industri yang ketika itu menggantungkan keuangan mereka dari modal asing tidak mengantisipasi ini. Mereka berpikir pemerintah akan terus mengintervensi valas, sehingga tidak berhati-hati dalam mengelola keuangannya. Alhasil, depresiasi memicu lahirnya deflasi utang eksternal, yang pada akhirnya mengakibatkan perbankan dan industri kolaps.

Namun kondisi sekarang berbeda. 

Sejak tahun 1997, Indonesia tidak lagi menggunakan sistem nilai tukar tetap di mana pemerintah menetapkan besaran rupiah terhadap dolar. Kini, devisa kita dikelola dengan cara mengambang. Artinya tarik-menarik permintaan dan penawaran menentukan besaran nilai tukar.


Logis, hal demikian semestinya memicu lembaga keuangan dan industri menggunakan asumsi anggaran dengan nilai tukar yang lebih dinamis. Dengan demikian, risiko keuangan akibat depresiasi lebih rendah.

Buktinya, hal ini bisa dilihat dari posisi utang eksternal Indonesia. Menurut catatan BI dan Kementerian Keuangan, pada triwulan ke-2 tahun 2018 ini, rasio utang eksternal terhadap GDP adalah 34% dengan dominasi utang jangka panjang sebesar 84.4% dan sisanya adalah utang jangka pendek sebesar 15.6%. Angka tersebut berbeda dengan tahun 1997, di mana utang eksternal mencapai 60% dari GDP dengan komposisi utang jangka panjang dan pendek masing-masing sebesar 76.5% dan 23.5%.

Di sisi lain, regulasi dan pengawasan keuangan Indonesia saat ini lebih ketat. Indonesia saat ini memiliki Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengambil sebagian tugas BI untuk mengawasi pengelolaan lembaga keuangan dan perbankan. Keberadaan lembaga ini penting agar pengawasan terhadap lembaga keuangan lebih cermat dan fokus karena ada pembagian peran.

Sebagai pembanding, sebelum krisis 1997, BI keteteran mengawasi lembaga keuangan Indonesia, sehingga pengelolaan utang eksternal kurang terkendali. Hal demikian diungkapkan Gubernur BI saat itu, Soedradjat Djiwandono, dalam buku Mengelola Bank Indonesia dalam Masa Krisis. Ia menguraikan, pada tahun 1997, pemerintah terlambat menyadari masalah utang eksternal sampai akhirnya krisis menimpa.

Keterlibatan Masyarakat

Oleh karena itu, dibanding pesimis, masyarakat justru bisa terlibat membangun perekonomian nasional. Ada banyak caranya.

Pertama, adalah dengan menukar dolar yang dipunya dengan rupiah. Memang, menyimpan aset dalam bentuk dolar saat ini lebih menguntungkan dibanding rupiah. Namun, mirip seperti domino, kalau ini dilakukan banyak orang, arus depresiasi nilai tukar tidak akan terbendung. Alhasil, sebaik apa pun regulasi pemerintah, krisis finansial tidak terhindarkan. Masyarakat harus tunjukkan kecintaan mereka dengan tanah air dengan menggunakan rupiah.

Selain itu, eksportir lokal harus mengembalikan devisa ekspornya selekas mungkin, sebab hal demikian sangat membantu menahan gelombang depresiasi. Terlebih lagi, menjelang pemilu, masyarakat bisa mendorong eksportir untuk mengembalikan devisa ekspornya, sebab sebagian besar politisi adalah pengusaha ekspor. 'Hukumlah' mereka yang tidak mengembalikan devisa ekspor dengan tidak memilih mereka saat pemilu!

Kedua, ambil bagian dalam perkembangan industri. Secara jangka panjang, mata uang garuda akan kuat bila ditopang ekspor dalam negeri yang tinggi. Ambillah bagian dalam perkembangan industri lokal dengan menjadi pengusaha baru.

Saat ini Indonesia kekurangan jumlah pengusaha. Menurut data BPS tahun 2017, jumlah pengusaha di Indonesia hanya sebesar 3,1% dari jumlah penduduk. Angka tersebut masih rendah dibanding negara-negara maju, seperti Cina yang mencapai 10%, Jepang sebesar 11%, dan Amerika Serikat  sebesar 12%.

Memang, membangun industri berorientasi ekspor membutuhkan waktu dan modal yang tidak sedikit, namun bukan berarti masyarakat tidak bisa terlibat mendatangkan devisa. Bagaimana? 

Caranya adalah dengan menjadi pengusaha yang bergerak di sektor pariwisata. Sektor ini adalah sektor andalan yang bisa mendatangkan devisa dalam waktu cepat. Sebab, turis asing yang datang otomatis mengonversi devisa yang mereka bawa untuk bertransaksi di Indonesia. Modal yang dibutuhkan bagi calon pengusaha pun tidak sebesar industri berorientasi ekspor. Yang dibutuhkan adalah ide kreatif yang atraktif bagi turis.

Ketiga, selain menjadi pengusaha, masyarakat bisa turut mendorong perekonomian nasional dengan turut serta menyalurkan modal untuk pengusaha yang membutuhkan. Modal ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya industri dalam negeri. Caranya bagaimana? Yakni dengan terlibat di pasar keuangan dalam negeri.

Sekarang, terlibat di pasar keuangan tidaklah sesulit dulu. Indonesia sedang mengalami tren baru di industri keuangan yang ditandai dengan tumbuhnya industri financial technology (fintech) P2P lending. Perusahaan di industri ini menyediakan platform online bagi masyarakat untuk menyalurkan modal kepada pengusaha dalam bentuk loan.

Selain itu, minimum modal investasi yang rendah, yakni mulai dari Rp100 ribu, membuat setiap orang bisa bisa investasi. Dibanding digunakan untuk konsumsi, masyarakat bisa proaktif mendorong ekonomi nasional dengan menyisihkan uangnya untuk berinvestasi. 

Dibanding bersikap pesimis terhadap kondisi saat ini, masyarakat bisa terlibat dalam ekonomi nasional dengan melakukan berbagai hal.

Ekonomi bisa berjalan dengan baik karena keterlibatan semua pihak. Maka dari itu, berkontribusilah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun