Mohon tunggu...
Sazkia Noor Anggraini
Sazkia Noor Anggraini Mohon Tunggu... -

Writer, Researcher, Educator

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Panggung Minoritas buat Pemilih Bijak

20 Desember 2014   08:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:54 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Abdur dengan persona ketimurannya ingin menyampaikan cerita yang dibalut retorika tentang masalah yang seolah “kau tahu apa”. Tak ubahnya imej yang ditampilkan media televisi tentang siapa calon pemimpin Indonesia nanti. Bedanya lagi, Abdur menyampaikannya dengan ironi dan metafora, sedangkan persona calon presiden disampaikan secara hiperbolis lewat media.

Televisi merupakan sumber informasi utama dari semua segmen pemilih. Menurut survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), pengaruh televisi sangat potensial dibanding media massa lainnya. Pembaca koran dalam survei ini hanya 11%, sementara 75% adalah penonton televisi. Dari presentase tersebut, penonton program berita atau talkshow politik di televisi berjumlah 32,5%. Pada masa kampanye, penonton yang sehari-harinya mengikuti berita di televisi meningkat jadi 48%. Survey ini memperlihatkan betapa masifnya penerima informasi lewat televisi.

“Suara” Abdur pastilah tidak terdengar jika ia tidak berada di panggung megah dengan balutan busana rapi dan kilau lampu. Ia didengar karena ia hadir di dalam “kotak ajaib” televisi, menawarkan suatu realita yang seolah-olah baru dalam nuansa humor. Kita yang tertawa karenanya adalah orang-orang dengan dominasi media yang seragam. Kita benar-benar tidak tahu tentang Gunung Rokatenda, Desa Lamakera yang gersang dan panasnya tanah Timur.

Sudah saatnya masyarakat Indonesia berhenti menertawai orang lain dan mulai berkaca hingga tahu mengapa dan untuk apa kita tertawa. Masyarakat juga diharapkan mampu melihat dirinya sendiri lewat layar kaca lalu tergelitik dengan kejadian atau sindiran akan keseharian yang diparodikan hingga membawa mereka untuk melakukan perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik.

Menurut Aristotle, manusia adalah satu-satunya mahluk yang bisa diajak tertawa. Melalui komedi kita seperti mendapatkan dorongan dari dalam jiwa yang biasanya terhalang oleh norma dan dogma. Dalam komedi penyimpangan sosial justru menjadi rumusnya, yang tidak masuk akal bisa diterima, budak bisa menjadi tuan atau sebaliknya, yang vulgar menjadi bagian dari tatakrama dan sesuatu yang menyimpang dengan pertimbangan estetis merupakan keharusan. Sehingga sadar atau tidak, kita berada dalam guncangan tanpa ikatan-ikatan kultural yang lazim.

Sejak Aristotle, komedi berabad-abad adalah genre yang paling tepat merepresentasikan kehidupan mereka yang memiliki kuasa ekstensif tapi berada pada tatanan “tengah” atau “bawah” masyarakat, bukan kelas yang berkuasa. Mereka yang kuasanya terbatas pada tingkat lokal, adat, serta perilaku dan nilai-nilainya dianggap trivial atau vulgar oleh tatanan kelas di atasnya.

Kita memang sibuk dengan berita banjir dan korupsi. Sampai tidak tahu kalau banyak orang di pulau terpencil masih belum merasakan listrik. Termakan imaji figur calon presiden dengan kilau lampu yang sama silaunya tapi beda personanya. Abdur menyuguhkan realitas versus calon presiden yang menyuguhkan janji politis. Keduanya sama-sama tersubordinasi melalui media televisi menjadi sebuah narasi yang lengkap tentang situasi ke-Indonesiaan.

Jadi tentukan pilihan bukan berdasar imaji yang terbangun dari televisi. Cerita Abdur tentang keterbatasan sebenarnya bisa menjadi alasan untuk pemilih lebih bijak. Jadikan panggung di mana Abdur menyampaikan suara minoritasnya didengar. Pemilih bijak tentu tahu bahwa tantangan keragaman suku, luas wilayah dengan keterbatasan akses di mana-mana jadi tanggung jawab bagi siapapun Presiden kita nanti. Jangan sampai nanti ada cerita stand up comedy di masa depan tentang pemimpin kita di masa sekarang dan kita menertawainya.
Opini ini ditulis untuk Harian Kompas pada 4 Juni 2014, saat sang idola baru televisi muncul, para calon presiden kita. Dikembalikan oleh redaksi Kompas pada 4 Juli 2014 hanya dengan satu catatan saja (karena sebelumnya beberapa kali dikembalikan dengan banyak catatan) "kesulitan mendapatkan tempat". Saya memposting di kompasiana karena tidak ada media yang lebih layak menayangkan ini selain Kompas. Kini, setengah tahun dari tulisan ini dibuat. Apa sudah ada yang perlu kita tertawakan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun