Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Pilihan

Panggung Minoritas buat Pemilih Bijak

20 Desember 2014   08:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:54 657 0
Teman-teman di sini ada yang tahu Rokatenda? Tidak Ada? Inilah suara minor yang mau saya bawakan. Rokatenda adalah gunung berapi di Pulau Flores. Ia meletus dari bulan Oktober 2012 sampai Desember 2013. Empat belas bulan! Bahkan dari pertama kali dia meletus, sampai dia berulang tahun yang pertama, tiup-tiup lilin, tidak ada kado yang datang! Wajar memang kalau teman-teman tidak tahu karena memang berita Rokatenda yang meletus waktu itu tertutup dengan berita banjir Jakarta. Bahkan banjir Jakarta waktu itu diarahkan menjadi bencana nasional karena merugikan Negara hampir 20 trilliun. Rokatenda selama empat belas bulan meletus, Negara hanya rugi 1000 rupiah. Iya, dua koin 500 untuk tutup telinga.
(Abdur Arsyad, Finalis Stand Up Comedy 4 Kompas TV #1)

Penggalan materi stand up comedy di atas dibawakan oleh Abdur Arsyad, seorang mahasiswa yang kuliah di Malang, berasal dari Lamakera, Nusa Tenggara Timur. Sebuah tempat yang selalu diceritakannya itu berada di dekat laut dengan mayoritas penduduknya nelayan, di mana ikan paus saja mudah ditangkap. Abdur mungkin tidaklah begitu terkenal, tapi cerita miris tentang minimnya fasilitas mengurus KTP di kampungnya, sekolah menengah yang hanya satu, proses melahirkan di perahu, hingga kekerasan ala Timur sepertinya tak asing lagi. Abdur memang “melucu” untuk ditayangkan oleh Kompas TV setiap minggunya, tapi kelucuan yang diciptakannya sebenarnya sudah “biasa” terjadi bukan?

Kita memang biasa melihat yang indah, bagus, elok dan sempurna di televisi. Kotak ajaib itu adalah imaji manusia atas horison harapannya. Ia mampu membuat penontonnya terkesima dan terlena dengan komodifikasi realitas. Maka jika suatu waktu disajikan suatu hal “ganjil” –seperti cerita Mama Abdur saat ujian sertifikasi guru online, soal tak terjawab karena tak mampu mengendalikan mouse di layar komputer— kita tertawa terbahak-bahak. Padahal sungguh cerita demikian sejatinya adalah benar

Kenyataannya sekarang, hanya kurang dari 10% atau 21 juta penduduk negara kita yang telah mengenal komputer. Padahal interaksi antar manusia kini sudah bebasis teknologi informasi dan komunikasi. Terdata di Republik ini sekitar 79% guru tidak menggunakan internet. Sedangkan data riset World Economic Forum mengenai ranking ”Networked Readiness Index”, Indonesia pada tahun 2011 hanya menempati posisi ke-53.

Pertanyaan yang muncul kemudian, lalu dari mana informasi utama didapatkan? Tentu jawabannya televisi. Seperti Abdur yang selalu bercerita tentang kebiasaan mamanya menonton sinetron dan papanya yang membawa kapak untuk “mengancam” televisi saat gambarnya mulai kabur. Bahkan, televisi juga lah yang menjadi penyebab penonton Stand Up Comedy Show tertawa terbahak-bahak saat Abdur bercerita, termasuk saya. Televisi itu candu, bahkan setelah dibentuk komite khusus yang mengatur regulasinya.

Konsepsi baik dan buruk di televisi telah dikonstruksi oleh penguasa media. Bukankah penguasa media ini adalah pangkal tolak sebuah informasi? Ternyata tidak sesederhana itu. Media adalah sarana penyampai informasi, itu benar. Tapi informasi bagaimana dan seperti apa yang disampaikan olehnya? Itu urusan belakang. Seperti halnya penonton tertawa lagi saat Abdur bercerita kalau di masa kecilnya, Wiro Sableng adalah pahlawan.

Media dan informasi memiliki dua sisi mata uang. Sisi satunya saling membutuhkan, sisi lainnya justru menjatuhkan, mengaburkan sifat media itu sendiri. Seperti halnya industri di era gelombang kedua menurut Alvin Toffler, bahwa ada kultur televisi yang menuntut sebuah penyeragaman atas gaya penayangan. Di balik penyeragaman itu, terkandung pula prasyarat-prasyarat tertentu, yakni ‘sebanyak-banyaknya’ (massifikasi) dan ‘sebaik-baiknya’ pada industri modern. Banyaknya audiens televisi menjadikannya sebagai medium dengan efek yang besar terhadap kultur dan manusianya. Sekarang, televisi adalah media massa yang dominan menanyangkan hiburan dan berita.

Berbicara tentang hiburan tidaklah basi, tapi melihat berbagai gerakan menolak tayangan joged ditanggapi acuh tak acuh oleh media (baca: stasiun televisi) ditambah lemahnya regulasi serta kontrol dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membuat semakin tidak sehatnya iklim pertelevisian di Republik ini. Ulasan, kritik, bahkan surat teguran KPI telah terpatahkan oleh alibi “Selera masyarakat kan beragam, ada yang suka dan tidak, silakan memilih dengan bijak” (Chairul Tanjung, CEO Trans Media, Mei 2014). Maka jika mengamini beliau, tak heran kalau kekerasan di kalangan murid SD akhir-akhir ini terkuak. Jika hiburannya yang berlabel Semua Umur (SU) saja mengekspose candaan dengan mengandalkan komedi slapstik , sikap “bijak” seperti apa yang diharapkan dari anak sekecil itu?

Sekarang bagaimana tayangan berita bisa menjaga netralitas jika pemiliknya saja tega menggunakan “kekuasaan media” sebagai kendaraan berpolitik. Untungnya, tidak ada pemilik media yang terpilih sebagai calon presiden. Yang ada, mereka yang mendukung calon presiden tertentu. Jadilah tayangan berita di televisi bak dagelan. Informasi tak lagi disajikan apa adanya tapi dipilah-pilah, persis seperti berita tentang banjir Jakarta yang disampaikan Abdur. Bedanya, kita (baca: penonton) tak berinisiatif menyiapkan dua keping koin 500 rupiah untuk tutup telinga.

Kita justru terpesona dan tersihir oleh imaji yang dibuat tentang sosok calon pemimpin negeri ini lewat kacamata media. Itu berarti sama saja dengan mempercayai materi satir Abdur tentang penyebrangan lampu merah, begini kutipannya:

Di depan tempat kami karantina, itu ada lampu merah tempat orang menyebrang. Jadi asyik sekali begitu, kalau kita mau menyebrang, kita tinggal tekan tombol nanti lampu berubah merah, mobil-mobil berhenti, kita tinggal lewat saja begitu. Asyik begitu. Malam-malam itu komik-komik lain sibuk nyiapin materi, saya sibuk menyebrang jalan. Sana, sini, sana, sini, asyik begitu. Itu sampai supir-supir angkot itu hapal saya, “Aduh ini anak Timur lagi, tiap hari menyebrang jalan, dia cita-cita mau dapat tabrak mungkin.”
(Abdur Arsyad, Finalis Stand Up Comedy 4 Kompas TV #10)


Abdur dengan persona ketimurannya ingin menyampaikan cerita yang dibalut retorika tentang masalah yang seolah “kau tahu apa”. Tak ubahnya imej yang ditampilkan media televisi tentang siapa calon pemimpin Indonesia nanti. Bedanya lagi, Abdur menyampaikannya dengan ironi dan metafora, sedangkan persona calon presiden disampaikan secara hiperbolis lewat media.

Televisi merupakan sumber informasi utama dari semua segmen pemilih. Menurut survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), pengaruh televisi sangat potensial dibanding media massa lainnya. Pembaca koran dalam survei ini hanya 11%, sementara 75% adalah penonton televisi. Dari presentase tersebut, penonton program berita atau talkshow politik di televisi berjumlah 32,5%. Pada masa kampanye, penonton yang sehari-harinya mengikuti berita di televisi meningkat jadi 48%. Survey ini memperlihatkan betapa masifnya penerima informasi lewat televisi.

“Suara” Abdur pastilah tidak terdengar jika ia tidak berada di panggung megah dengan balutan busana rapi dan kilau lampu. Ia didengar karena ia hadir di dalam “kotak ajaib” televisi, menawarkan suatu realita yang seolah-olah baru dalam nuansa humor. Kita yang tertawa karenanya adalah orang-orang dengan dominasi media yang seragam. Kita benar-benar tidak tahu tentang Gunung Rokatenda, Desa Lamakera yang gersang dan panasnya tanah Timur.

Sudah saatnya masyarakat Indonesia berhenti menertawai orang lain dan mulai berkaca hingga tahu mengapa dan untuk apa kita tertawa. Masyarakat juga diharapkan mampu melihat dirinya sendiri lewat layar kaca lalu tergelitik dengan kejadian atau sindiran akan keseharian yang diparodikan hingga membawa mereka untuk melakukan perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik.

Menurut Aristotle, manusia adalah satu-satunya mahluk yang bisa diajak tertawa. Melalui komedi kita seperti mendapatkan dorongan dari dalam jiwa yang biasanya terhalang oleh norma dan dogma. Dalam komedi penyimpangan sosial justru menjadi rumusnya, yang tidak masuk akal bisa diterima, budak bisa menjadi tuan atau sebaliknya, yang vulgar menjadi bagian dari tatakrama dan sesuatu yang menyimpang dengan pertimbangan estetis merupakan keharusan. Sehingga sadar atau tidak, kita berada dalam guncangan tanpa ikatan-ikatan kultural yang lazim.

Sejak Aristotle, komedi berabad-abad adalah genre yang paling tepat merepresentasikan kehidupan mereka yang memiliki kuasa ekstensif tapi berada pada tatanan “tengah” atau “bawah” masyarakat, bukan kelas yang berkuasa. Mereka yang kuasanya terbatas pada tingkat lokal, adat, serta perilaku dan nilai-nilainya dianggap trivial atau vulgar oleh tatanan kelas di atasnya.

Kita memang sibuk dengan berita banjir dan korupsi. Sampai tidak tahu kalau banyak orang di pulau terpencil masih belum merasakan listrik. Termakan imaji figur calon presiden dengan kilau lampu yang sama silaunya tapi beda personanya. Abdur menyuguhkan realitas versus calon presiden yang menyuguhkan janji politis. Keduanya sama-sama tersubordinasi melalui media televisi menjadi sebuah narasi yang lengkap tentang situasi ke-Indonesiaan.

Jadi tentukan pilihan bukan berdasar imaji yang terbangun dari televisi. Cerita Abdur tentang keterbatasan sebenarnya bisa menjadi alasan untuk pemilih lebih bijak. Jadikan panggung di mana Abdur menyampaikan suara minoritasnya didengar. Pemilih bijak tentu tahu bahwa tantangan keragaman suku, luas wilayah dengan keterbatasan akses di mana-mana jadi tanggung jawab bagi siapapun Presiden kita nanti. Jangan sampai nanti ada cerita stand up comedy di masa depan tentang pemimpin kita di masa sekarang dan kita menertawainya.
Opini ini ditulis untuk Harian Kompas pada 4 Juni 2014, saat sang idola baru televisi muncul, para calon presiden kita. Dikembalikan oleh redaksi Kompas pada 4 Juli 2014 hanya dengan satu catatan saja (karena sebelumnya beberapa kali dikembalikan dengan banyak catatan) "kesulitan mendapatkan tempat". Saya memposting di kompasiana karena tidak ada media yang lebih layak menayangkan ini selain Kompas. Kini, setengah tahun dari tulisan ini dibuat. Apa sudah ada yang perlu kita tertawakan?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun