Salah seorang dosen pernah memberikan pengingat; "Orang yang cerdas bukanlah orang yang mampu menggunakan bahasa-bahasa langit yang rumit, melainkan mampu memahamkan yang sulit itu dengan bahasa yang sederhana".
Bil-lughatil qaum, dengan bahasa kaumnya, begitu nasihat guruku yang lain. Begitu pula dulu Ayah mendidik kami.
Dan benar saja, algoritma hidup pun bekerja, bahwa kita akan dipertemukan  dengan orang-orang yang punya kecenderungan yang sama pula. Yakni mereka yang mahir bertata-kata, tetapi sekaligus punya kecerdasan untuk menjelaskannya kepada khalayak dengan amat baik, sesuai frekuensi bahasa mereka.
Orang-orang yang punya vocabulary kata yang kaya, punya citarasa berbahasa yang menawan. Untuk menyebut salah satunya, adalah mas Agus Riyanto, mantan Bupati Tegal. Saya pernah terkesima di kesempatan pertama mendengar ia berpidato di depan pendengar yang beragam, ratusan orang, dari pendidik, kiai/ustadz dan santri, pedagang, sampai pengayuh becak.
Ia mengutip ungkapan Sartre, filusuf yang hobi nongkrong di kafe, pengusung eksistensialisme, menambahkan analisis-analisis sosiologi, dan membumbuinya dengan pasemon-pasemon khas lokal yang kaya.
Yang membuat saya kagum bukan penggunaan diksi-diksi keren itu, melainkan bagaimana cara ia menyampaikannya ke audiens, sehingga mereka bisa merespon dengan penuh khidmat sambil manggut-manggut. Ya, mereka yang awam pun bisa paham dengan inti pesan sang Bupati.
Kemampuan bertata-kata memang penting, karena pilihan kata yang tepat bisa menggerakkan banyak orang. Dulu, para pemikir-pejuang Republik ini juga dikenal luas kemampuannya beretorika yang mengagumkan. Dari HOS Cokroaminoto, Sukarno, Sjahrir, Natsir, Tan Malaka, Agus Salim. Barangkali hanya Hatta yang bergenre kalem, meski tetap saja mendalam.
Baca juga: Karena Orang Tua Tak Boleh (Lagi) Sok Tahu: Sebuah Pesan dari Serial Adolescene
Di sebuah tugas berpidato di kelas 3 SMA, di pembukaan saya memekikkan kata "merdeka" dengan mengepalkan tangan kanan, jauh sebelum saya tahu bahwa gaya itu kelak menjadi trademark pidato tokoh-tokoh PDI Perjuangan. Seisi kelas tertawa, karena mungkin itu jadi pemandangan perdana bagi mereka, tetapi sejurus berikutnya mereka antusias menyimak isi pidato tugas Bahasa Indonesia itu.
Di sebuah forum rapat Dewan Legislatif Mahasiswa di kampus di awal 2000 an, peserta rapat mendadak diam saat saya keprucut, spontan mengucap kata "kontemplasi". Mereka kompak mengacungkan jari tengah, eh jari telunjuk, menginterupsi: "Kontemplasi sih apa, Bro?".
Ternyata nyaris seisi ruangan rapat yang sedikit itu tak pernah mendengar diksi satu ini. Pun saya mengucapkan kata ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi spontan saja, karena memang sejak lama kesengsem dengan diksi yang dipakai ayah angkat kami, SjaifulHamdi Naumin, sebagai padanan kata tahanuts, sebuah prosesi spiritual Muhammad menepi di Gua Hira, Jabal Nur.