Bintang gemintang mendadak terang padanya.
Angin berisik berebut mengerubunginya.
Tanah bergetar, seolah berteriak untuknya.
Matanya bagaikan pisau tajam ke segala arah.
Darah mendidih dihujani amarah.
Tuan Putri kami bukanlah pengecut sapi perah.
Namun, hatinya menghitam berongga parah.
Para kesatria serempak menatapnya.
Sungguh. Tuan Putri kami banyak cobaannya.
Tawa gila itu tidak lagi diikuti binar cahaya.
Amukan dan air mata, berada dalam satu bejana.
Oh, Tuan Putri kami sangat menderita!
Tak sanggup kami berkata tentang khianat rezimnya.
Seribu panah mengoyak badan Ratu dan Raja.
Meninggalkan putri mereka dikurung trauma.
Ah, kami rakyatnya juga menderita.
Panen kami kalah oleh tamak keji yang berpesta pora.
Kelaparan dan penyakit menghujam lara.
Kacau negara, sembilu menyayat dimana-mana.
Napasnya mendesah, senyumnya bergulung.
Serasa tangan kaki tak bertindak karena buntung.
Tuan Putri kami, cerdas memimpin tanpa bingung.
Walau dibalik ruang, ia tatap bulan dengan murung.
Demi para kesatria, bagai baja yang setia mengikut bantu.
Demi kami, rakyatnya, yang memandangnya seperti ibu.
Genderang perang terdengar bertalu-talu.
Gelap hati ia timbun, abai, kami tidak pernah tahu.
Dan sekarang, Tuan Putri kami menggila.
Ledakan emosi tak tertawar sebab ditahan lama.
Oh Tuhan... Maafkan kami yang terlupa.
Bahwa, Tuan Putri kami masihlah remaja muda.
Mendadak, tanah menggempa mengguncang ngeri.
Seolah mengabulkan kemarahan si Tuan Putri.
Kilat petir menyambar, langit berapi-api.
Lalu, puncak perang tak terelakkan lagi.
Dan kami hanya diam, berdoa dalam hati.
Oh Tuhan... Maafkan kami.
[Solok, 24 Juli 2021]