Mohon tunggu...
Nurul Fauziah
Nurul Fauziah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai tulis-menulis

Alumni Ilmu Sejarah FIB UI. Mencintai Literasi dan Musik. Menggemari Film dan Anime. Menulis untuk Bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis di Jendela

2 Juli 2021   16:44 Diperbarui: 2 Juli 2021   16:55 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadis di Jendela. Pict by Free Photos via Pixabay

Entah kenapa, gadis itu selalu menarik perhatiannya.

Seperti kali ini. Dari gedung yang berbeda, dipisahkan oleh dinding kaca, berada tepat di samping mejanya. Entah kenapa, dari tadi ia hanya duduk dan memandangi gadis itu saja. Padahal tidak ada yang menarik di sana.

Aneh.

Akal mati-matian menyuruhnya berpaling, tetapi matanya enggan mendengarkan. Ia tidak tahu kenapa dadanya bergemuruh, namun hatinya terasa hangat entah bagaimana. Lucu, bukan? Ia tidak pula bicara atau sekedar menyapa. Lidahnya terkunci oleh garis tipis bibirnya, sedang ia entah sejak kapan telah lupa pada dunia di sekitarnya.

 Kenapa ia enggan menarik muka?

Ia hanya memandangi gadis itu. Sementara gadis itu seperti tidak menyadari pandangannya.

Gerimis pun perlahan jatuh dari langit hitam di atas sana.

Gadis itu sekarang mengangkat telunjuknya. Mencoba menuliskan sesuatu di jendela. Apa yang ditulisnya?

Tidak ada embun di kaca. Gadis itu hanya menggerakkan telunjuknya untuk menulis kata di udara. Namun entah kenapa ia sangat penasaran dengan apa yang ditulisnya. Lantas, gadis itu menghela napas dalam. Kembali hanya memandangi jendela.

Desau angin menggoyangkan reranting pohon di antara kedua gedung mereka.

Gadis itu benar-benar menarik perhatiannya. Membuncah alam pikirannya, mengusik fokusnya, memenuhi hari-harinya. Pipi gadis itu terlihat merona. Lembut senyum terukir dan matanya memancarkan cahaya. Buku di hadapannya terbuka tanpa terbaca sementara kepul kopi menguar di sebelahnya. Gerimis tipis membawa syahdu, sementara si gadis masih memandang langit tanpa kata.

 Ia benar-benar tidak mengerti mengapa. Otaknya menolak memberi penjelasan atas sikapnya. Ia penasaran. Sungguh. Kenapa dunianya teralih? Bagaimana bisa gadis itu membuatnya enggan melupa? Di perpustakaan, Gadis itu terlihat berwibawa. Di taman, gadis itu terlihat lebih cantik dari bunga. Di parkiran, gadis itu serasa melepas penat dan dahaga. Lalu di jendela, gadis itu bagai malaikat yang turun dari surga.

Ah, tapi kenapa ia tidak bisa mengajaknya bicara? 

Ada rasa malu menghimpit keberaniannya. Ada rasa takut yang besar jika ia ditolak. Imajinasi liar di kepalanya menggila. Ia ingin bicara padanya. Sekedar menyapa pun tak apa. Tapi….

Ah, sial!

Lelaki ini berdecak. Jari-jemarinya menyelusup dalam rambut lalu mengacak-acaknya. Ia lalu mendengus. Berdecak. Mengusap wajah. Mengerang. Kembali berdecak. Kembali mendengus. Setelah beberapa menit, akhirnya menghela napas dalam.

Baiklah. Jika esok kiamat, setidaknya sekarang ia harus mencoba.

Jadi, lelaki itu menelan ludah, berusaha keras menahan egonya.  

Ia kemudian mengangkat tangannya. Mencoba melambai. Jarak antar gedung tidak terlalu jauh, tetapi juga tidak terlalu dekat. Seharusnya tindakan kecil itu dapat menarik perhatian orang-orang di gedung sana, dan memang beberapa orang melihatnya, lalu mengabaikannya begitu saja. 

Sementara si gadis masih menopang sebelah dagu, masih tenggelam oleh apapun yang ia pikirkan. Tidak terusik sama sekali. Lelaki itu berpikir untuk mengetuk jendela. Tersenyum gugup. Matanya bergetar oleh ragu sementara rahangnya mengeras, ia mendadak merasa sulit bernapas, dan berhasil.

Gadis itu menoleh. Gadis itu menoleh. Gadis itu menoleh!

Mata gadis itu melebar dan berkedip-kedip pelan. Tampak kaget sekaligus bingung dengan manusia asing di seberang jendela sana. Lelaki itu berusaha menyungging senyuman, namun rasa gugup membuatnya terlihat kaku. Lelaki itu merasa hawa di sekitarnya mendadak terasa berat dan ia merinding entah kenapa. Hatinya berharap gadis itu meresponnya. Namun gadis itu hanya mematung, seperti manekin cantik dengan tatapan kosong. Lelaki itu merasa pipinya memanas.  Tatapan itu serasa membakarnya menjadi kepiting rebus.

Beberapa detik kemudian, gadis itu akhirnya mengangguk sambil tersenyum. oh Tuhan, cantik sekali! Serius. benar-benar cantik! Seperti dewi, bunga, bulan... Ah! Lebih. Lebih. Lebih! Lelaki itu sibuk bersorak dalam hati.

Namun gadis itu segera memalingkan muka. Mendadak tangannya lincah mengemasi barang-barang, lalu berdiri. Ia mengangguk padanya sekali lagi. Kemudian pergi. Meninggalkan segelas kopi yang belum habis disesap, meninggalkan si lelaki yang masih tersenyum seperti orang bodoh.

.......................................

Lelaki itu terdiam. Ia larut oleh bingung. Matanya mengerjap-ngerjap sibuk mencerna situasi. Pucat pasi.

Huh? Apa yang terjadi? Apa terlalu mendadak? Apa ia aneh? Tidak sopan? Buruk? 

Sepersekian detik berikutnya, lelaki itu telah menunduk. Membenamkan wajah di meja, jari-jemarinya kesetanan mengacak-acak rambut seperti orang gila. Ia mendengar ada raungan depresi di sekitarnya, kemudian sadar kalau raungan itu miliknya sendiri. Orang-orang di sekitarnya memandangnya heran, sebagian melihatnya aneh, sisanya kasihan. Lelaki itu sekarang sibuk merutuki keberaniannya sendiri.

Ah sial! Kenapa ia harus menyapanya?

Ah tidak, tidak! Justru kenapa gadis itu malah mengabaikannya?!

[Saning Bakar, Solok, 2 Juni 2021]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun