Desau angin menggoyangkan reranting pohon di antara kedua gedung mereka.
Gadis itu benar-benar menarik perhatiannya. Membuncah alam pikirannya, mengusik fokusnya, memenuhi hari-harinya. Pipi gadis itu terlihat merona. Lembut senyum terukir dan matanya memancarkan cahaya. Buku di hadapannya terbuka tanpa terbaca sementara kepul kopi menguar di sebelahnya. Gerimis tipis membawa syahdu, sementara si gadis masih memandang langit tanpa kata.
 Ia benar-benar tidak mengerti mengapa. Otaknya menolak memberi penjelasan atas sikapnya. Ia penasaran. Sungguh. Kenapa dunianya teralih? Bagaimana bisa gadis itu membuatnya enggan melupa? Di perpustakaan, Gadis itu terlihat berwibawa. Di taman, gadis itu terlihat lebih cantik dari bunga. Di parkiran, gadis itu serasa melepas penat dan dahaga. Lalu di jendela, gadis itu bagai malaikat yang turun dari surga.
Ah, tapi kenapa ia tidak bisa mengajaknya bicara?Â
Ada rasa malu menghimpit keberaniannya. Ada rasa takut yang besar jika ia ditolak. Imajinasi liar di kepalanya menggila. Ia ingin bicara padanya. Sekedar menyapa pun tak apa. Tapi….
Ah, sial!
Lelaki ini berdecak. Jari-jemarinya menyelusup dalam rambut lalu mengacak-acaknya. Ia lalu mendengus. Berdecak. Mengusap wajah. Mengerang. Kembali berdecak. Kembali mendengus. Setelah beberapa menit, akhirnya menghela napas dalam.
Baiklah. Jika esok kiamat, setidaknya sekarang ia harus mencoba.
Jadi, lelaki itu menelan ludah, berusaha keras menahan egonya. Â
Ia kemudian mengangkat tangannya. Mencoba melambai. Jarak antar gedung tidak terlalu jauh, tetapi juga tidak terlalu dekat. Seharusnya tindakan kecil itu dapat menarik perhatian orang-orang di gedung sana, dan memang beberapa orang melihatnya, lalu mengabaikannya begitu saja.Â
Sementara si gadis masih menopang sebelah dagu, masih tenggelam oleh apapun yang ia pikirkan. Tidak terusik sama sekali. Lelaki itu berpikir untuk mengetuk jendela. Tersenyum gugup. Matanya bergetar oleh ragu sementara rahangnya mengeras, ia mendadak merasa sulit bernapas, dan berhasil.