Jika diri ingin egois,
Sejujurnya, aku suka kau menangis.
Aku tahu. Beban hati yang terluka dan teriris,
Senantiasa mencari pundak tuk melampiaskan tangis.
Karna kau sendiri.
Kau akan mencariku untuk mengusir sepi.
Kau akan datang saat gulana menyiksa hati.
Lalu cawan rinduku menyambutmu dengan senang hati.
..............................
Pada semesta aku bertanya-tanya.
Aku harap akalku mengerti walau tidak semuanya.
Aku tahu ini kisah tentang si tokoh utama.
Namun, cocokkah singgasana kisah ini untuknya?
Seperti aktor yang bermain peran.
Gelisah wajahmu terus membuatku penasaran.
Kupikir, menemanimu laksana payung peneduh hujan.
Walau ku tahu, kupu-kupu biasanya tak pernah terbang mencapai awan.
Aku takkan pernah menggapaimu.
Relung jiwamu telah dikunci oleh si tokoh utama yang bebal itu.
Kau menyimpan nostalgia seakan candu.
Jadi, kupikir takkan ada ruang untukku di hatimu.
Si tokoh utama masih nadi untuk kisah ini.
Getir tawaku menyimpan makian dalam hati.
Senyum kecutku menertawai diri.
Cinta memang bodoh. Khayalan palsu menelan harga diri.
Egoisku khawatir, serakahku menyembunyikan diri.
Gelagatmu membuatku berharap lebih dari ini.
Kemudian, di saat gerimis membasuh bumi,
Pintu depan terketuk, duniaku tak lagi sunyi.
Kau memanggilku, lagi.
[Saning bakar, Solok, 7 Juni 2021]